Showing posts with label Konseptual Model Keperawatan Jiwa. Show all posts
Showing posts with label Konseptual Model Keperawatan Jiwa. Show all posts

Konseptual Model Keperawatan Jiwa - Model Sosial


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dengan berkembangnya teknologi maka manusia harus dituntut untuk berkembang dengan kemajuan teknologi saat ini.seseorang atau individu itu sendiri harus mampu mengikuti perkembangan tersebut dengan kemampuan dan support system dalam beradaptasi. Karena akan banyaknya timbul stressor yang berasal dari lingkungan luar maupun dalam lingkup individu itu sendiri. Seiring dengan semakin tingginya stressor yang dihadapi individu dalam masyarakat, seperti tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin kompleks, berdampak pada tingkat stress individu. Kondisi tersebut beresiko tinggi menyebabkan gangguan fisik dan jiwa, sehingga dapat diprediksi angka kesakitan semakin meningkat khususnya gangguan jiwa.Disinilah konsep – konsep keperawatan jiwa akan disampaikan khususnya pada konsep modal sosial.
Model konseptual keperawatan jiwa mengurai situasi yang terjadi dalam lingkungan atau stresor yang mengakibatkan seseorang individu menciptakan perubahan yang adaptif baik secara mandiri maupun bantuan perawat. Model konseptual keperawatan jiwa merupakan upaya yang dilakukan baik oleh perawat untuk  menolong seseorang dalam mempertahankan keseimbangan melalui mekanisme koping yang positif untuk mengatasi stresor yang dialaminya (Videbeck, 2008 : 54).
Sedangkan model sosial itu sendiri adalah lingkungan sosial. Lingkungan sosial tersebut dapat berakibat terhadap individu dan pengalaman individu dalam hidupnya. Menurut Szass & Caplan dalam Stuart & Laraia (2005), budaya dapat berguna dalam mengartikan gangguan jiwa, terapi dan memastikan masa depan pasien.
Masalah Ganguan jiwa pada individu bisa terjadi karena kehidupan sosial individu tersebut di dalam masyarakat. Ganguan jiwa yang disebabkan faktor lingkungan sosial ini seperti isolasi sosial. Dimana  tindakan isolasi sosial ini akan membuat individu tersebut akan menimbulkan masalah ganguan jiwa yang lebih kompleks yaitu halusinasi yang akan terjadi oleh individu tersebut terhadap lingkungannya, keluarga, orang lain , bahkan dirinya sendiri. Berdasarkan masalah-masalah di atas, kami tertarik untuk membahas model konseptual keperawatan jiwa secara lebih mendalam khususnya tentang model sosial.
B.     Tujuan Penulisan
1.      Tujuan umum
Mahasiswa mampu mengetahui tentang model konseptual keperawatan jiwa (model sosial)
2.       Tujuan khusus
a.       Menjelaskan model konseptual keperawatan jiwa
b.      Mengidentifikasi model konseptual sosial
c.       Menjelaskan aplikasi model sosial

C.    Ruang lingkup Penulisan
Ruang lingkup penulisan makalah ini yaitu model konseptual keperawatan jiwa khususnya model konseptual sosial.

D.    Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode deskriftif yaitu dengan penjabaran masalah – masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan literatur yang ada baik di perpustakaan maupun di media internet sebagai pelengkap baik itu media blog, web, maupun artikel.

E.     Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari 3 bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I       :Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan        
penulisan, ruang lingkup penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II      :Tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep dasar kesehatan jiwa, pengertian konsep model sosial
BAB III    :Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran















BAB II
TINJAUN TEORITIS

A.    Model konseptual Keperawatan Jiwa
1.      Pengertian
Model adalah cara mengorganisasi pokok pengetahuan yang kompleks. Model konseptual merupakan kerangka kerja konseptual, sistem atau skema yang menerangkan tentang serangkaian ide global tentang keterlibatan individu, kelompok, situasi, atau kejadian terhadap suatu ilmu dan perkembangannya (Brockopp, 1999).
Model konseptual keperawatan merupakan suatu cara untuk memandang situasi dan kondisi pekerjaan yang melibatkan perawat di dalamnya. Model konseptual keperawatan memperlihatkan petunjuk bagi organisasi dimana perawat mendapatkan informasi agar mereka peka terhadap apa yang terjadi pada suatu saat dengan apa yang terjadi pada suatu saat juga dan tahu apa yang harus perawat kerjakan (Brockopp, 1999 : 73).
Model konseptual keperawatan jiwa mengurai situasi yang terjadi dalam situasi lingkungan atau stresor yang mengakibatkan seseorang individu berupa menciptakan perubahan yang adaktif dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia. Model konseptual keperawatan jiwa mencerminkan upaya menolong orang tersebut mempertahankan keseimbangan melalui mekanisme koping yang positif unutk mengatasi stresor ini (Videbeck, 2008 : 54).

2.      Macam –macam  model konseptual keperawatan jiwa
Menurut Yosep (2009 : 12), konseptual model keperawatan, dapat dikelompokkan menjadi beberapa model yaitu :
a.       Model psikoanalisa ( Freud, Erickson )
Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi pada seseorang apabila ego (akal) tidak berfungsi dalam mengontrol id (kehendak nafsu atau insting). Ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akalnya ( ego ) untuk mematuhi tata tertib, peraturan, norma, agama (super ego/das uber ich), akan mendorong terjadinya penyimpangan perilaku (defiation of behavioral).
Proses terapeutik Psikoanalisa memakai : Free association, analisa mimpi dan transfer untuk membentuk kembali perilaku. Free association : mencurahkan seluruh pikiran dan perasaan tanpa ada sensor. Terapist akan mencari pola kata-kata dan area yang secara tidak sadar dihindari. Kemudian dibandingkan dengan ilmu terapist tentang pengetahuan tentang jiwa dan konflik. konflik yang dihindari klien dianggap hambatan dan harus diselesaikan. Analisa mimpi : menjadi gambaran konflik intra psikis yang menjadi hambatan klien dalam berperilaku. Simbol-simbol mimpi dianalisa dan disimpulkan. Kedua proses ini dilengkapi dengan transfer yaitu terapist menjadi sasaran perilaku atau perasaan klien.

b.      Model interpersonal
Teori ini dikemukakan oleh Harri Stack Sullivan. Dia menganggap perilaku itu merupakan bentukan karena adanya interaksi dengan orang lain atau lingkungan sosial. Kecemasan disebabkan perilakunya tidak sesuai atau tidak diterima orang lain sehingga akan ditolak oleh lingkungan. Perilaku timbul karena adanya dorongan untuk kepuasan dan dorongan untuk keamanan. Perilaku karena adanya dorongan untuk memuaskan diri disebabkan karena adanya kelaparan, tidur, kenyamanan dan kesepian. Keamanan berhubungan dengan penyesuaian diri terhadap nila-nilai budayaseperti nilai-nilai masyarakat dan suku. Sulivan beranggapan bila kemampuan untuk memenuhi kebutuhan akan kepuasan dan keamanan terganggu maka dia akan mengalami sakit mental. 

c.       Model sosial
Konsep ini dikemukan oleh Gerard Caplan, yang menyatakan bahwa perilaku dipengaruhi lingkungan sosial dan budaya. Caplan percaya bahwa situasi sosial dan menjadi faktor predisposisi klien mengalami gangguan mental, seperti kejadian kemiskinan, masalah keluarga dan pendidikan yang rendah. Karena kondisi ini akhirnya individu mengalami ketidakmampuan mengkoping stes, ditambah lagi dukungan dari lingkungan sangat sedikit. Individu mengembangkan koping yang patologis. Krisis juga bisa menyebabkan klien mengalami perubahan perilaku. Koping yang selama ini dipakai dan dukungan dari lingkungan tidak dapat dipakai lagi sehingga klien mengalami penyimpangan perilaku.

d.      Model eksistensi
Menurut teori model eksistensi ganguan prilaku atau ganguan jiwa terjadi bila individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya. Individu tidak memiliki kebanggan akan dirinya. Membenci diri sendiri dan mengalami ganguan dalam body image – nya.

e.       Model komunikasi
Konsep ini dikemukan oleh Eric Berne. Dia mengatakan bahwa setiap perilaku, baik verbal maupun non verbal adalah bentuk komunikasi. Ketidak mampuan komunikasi mengakibatkan kecemasan dan frustasi.

f.       Model behavioral
Konsep ini berdasarkan teori belajar, dan mengatakan bahawa semua perilaku itu dipelajari. Perilaku seseorang karena dia belajar itu dari lingkungannya. Fokus konsep ini terletak pada tindakan, bukan pada pikiran atau perasaan individu. Perubahan perilaku membuat perubahan pada kognitif dan afektif.

g.      Model medical
Menurut konsep ini ganguan jiwa cendrung muncul akibat multi factor yang kompleks meliputi aspek fisik, genetic, lingkungan dan factor sosial. Sehingga focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostic, terapi somatic, farmakologi, dan teknik interpersonal.

h.      Model keperawatan
Konsep ini dikemukan oleh Dorethea, Orem, Joan Richi, Roy dan Martha Rogers. Konsep ini berdasarkan teori sistem, teori perkembangan dan teori interaksi yang bersifat holistik : bio-psiko-sosial spiritual. Perawat mengarah pada perubahan perilaku, menyediakan waktu banyak, menciptakan hubungan yang terapeutik dan sebagai pembela klien.

B.     Model konseptual Sosial
1.      Pengertian
Konsep ini dikemukan oleh Gerard Caplan, yang menyatakan bahwa perilaku dipengaruhi lingkungan sosial dan budaya. Caplan percaya bahwa situasi sosial dan menjadi faktor predisposisi klien mengalami gangguan mental, seperti kejadian kemiskinan, masalah keluarga dan pendidikan yang rendah. Karena kondisi ini akhirnya individu mengalami ketidak mampuan mengkoping stres, ditambah lagi dukungan dari lingkungan sangat sedikit. Individu mengembangkan koping yang patologis. Seseorang akan mengalami gangguan jiwa atau penyimpangan perilaku apabila banyaknya factor sosial dan factor lingkungan yang akan memicu munculnya stress pada seseorang (social and environmental factor create stress, which cause anxiety and symptom). Beberapa factor predisposisi stress yaitu :
a.       Pengaruh genetic
b.      Pengaruh masa lalu
c.       Pengaruh konflik lain
Pada lingkungan sosial yang mempengaruhi individu dan pengalaman hidupnya. kondisi sosial bertanggung jawab terhadap penyimpangan perilaku. Prilaku yang dianggap normal pada suatu daerah tertentu mungkin sebagai penyimpangan pada daerah yang lain. Individu yang sudah dilabel atau dicap jika tidak dapat menyesuaikan diri dengan norma lingkungan, maka perilaku tersebut memerlukan perawatan atau dirawat. Kaplan, meyakini bahwa situasi sosial dapat mencetuskan gangguan jiwa. Oleh karena itu situasi yang dapat menjadi pencetus:
a.       Kemiskinan, situasi keuangan tidak stabil, pendidikan tidak adekuat.
b.      Kurang mampu mengatasi stress.
c.       Kurang support system

2.      Faktor - faktor perubahan prilaku
Di dalam kehidupan sosial masyarakat, individu memiliki beberapa aspek factor terjadinya ganguan prilaku sosial terhadap individu.
a.       Fisik
Kondisi fisik adalah salah satu kondisi tejadinya kehilangan organ tubuh akibat bencana yang memerlukan pelayanan dalam rangka adaptasi terhadap kondisi fisiknya. Tetapi disini lingkungan tidak dapat menerima dan memberikan adaptasi yang baik sesuai dengan keadaan normal sebelumnya. Maka hal ini bisa menyebabkan sesorang tidak mau bersosialisasi pada masyarakat sekitarnya. Ini merupakan salah satu factor pemicu terjadinya HDR pada sesorang tersebut.

b.      Psikologi
         Berbagai masalah psikologi yang dialami masyarakat atau individu seperti ketakutan, trauma, kecemasan maupun kondisi yang lebih berat di karenakan kondisi suatu peristiwa atau insiden yang terjadi di lingkungan pada masa lalu.

c.       Sosial
         Dimana seseorang akan mengalami keadaan duka dan konflik berkepanjangan seperti kehilangan keluarga yang di cintai, kehilangan pekerjaan, tempat tinggal dan harta benda akibat musibah yang melanda. Akibat tidak adanya pelayanan dari berbagai sektor dapat memicu ketidakpuasan dalam kehidupan sosial.

d.      Budaya
Semakin berkembangnya budaya idealism di dalam masyarakat kita menjadi lebih mementingkan diri masing – masing, yang seharusnya budaya lebih mementingkan kebersamaan untuk menciptakan masyarakat yang lebih nyaman. Hal ini lah yang dapat membuat terjadinya kesenjangan di dalam masyarakat.

e.       spiritual
Nilai – nilai agama yang terlalu kuat di dalam masyarakat dapat menimbulkan deskriminasi terhadap agama minoritas. Potensi inilah yang dapat berkembang di masyarakat terjadinya konflik dan berbagai masalah yang tidak dapat terselesaikan.

3.      Model Terapi
Peran perawat dalam memberikan terapi menurut model ini adalah pasien harus menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di masyarakat melibatkan teman sejawat, atasan, keluarga atau suami-istri. Sedangkan terapis berupaya menggali system sosial klien seperti suasana dirumah, di kantor, di sekolah, di masyarakat atau tempat kerja.

a.       peran klien :
1)       Bekerja samalah dengan terapis dengan menceritakan seluruh masalah  yang dialaminya dan aktif terlibat dalam proses pemulihan. Disini tujuannya yaitu perawat mampu menganalisa faktor utama yang menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa, selain itu klien juga dapat membina hubungan baik antara perawat  sehingga lebih mudah dalam proses pemulihan.

2)       Menggunakan sistem pendukung sosial. yang dimaksud kan system pendukung sosial disini adalah selain terapis dalam proses pemulihan juga diharapkan berperannya anggota keluarga lain yang dapat membantu karena klien akan lebih mudah mengerti tujuan utama yang diharapkan oleh terapis jika yang menyampaikan adalah orang terdekat klien. Selain itu dalam proses sosialisasi juga dibutuhkan alat bantu pendukung seperti gambar, buku cerita sehingga klien lebih mudah untuk mengerti.


3)      Mengubah perilaku sehingga menjadi sehat
Disini klien diharapkan secara bertahap mampu untuk memulihkan prilaku yang kurang baik menjadi baik, juga klien dapat mengerjakan sesuatu dimulai dari hal yang terkecil seperti mengurusi mandi sendiri pada setiap hari.

b.       peran terapis :
Terapi yang dianjurkan adalah terapi sosial dan pasien tidak dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit. Terapis dianjurkan untuk ke mengunjungi pasien di masyarakat. Dan aktivitas yang dilakukan adalah penyuluhan terhadap kelompok masyarakat dan konseling
Ketentuan hubungan pasien dan terapis (perawat) adalah terapi akan dapat menolong pasien hanya apabila pasien meminta pertolongan. Pasien datang ke terapis untuk menjelaskan masalahnya dan meminta untuk dibantu menenyelesaikan masalahnya. Pasien juga mempunyai hak menolak intervensi terapeutik yang diberikan. Terapi akan sukses jika pasien puasa dengan perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Terapis bersama-sama dengan pasien meningkatkan perubahan. Perubahan tersebut menyangkut membuat rekomendasi tentang arti yang mungkin dari apa elemen penyesuain diri yang efektif, tidak termasuk beberapa elemen yang termasuk dalam paksaan terhadap tindakan di rumah sakit jika pasien tidak setuju dengan rekomendasi yang dianjurkan oleh terapis. Ketentuan dari terapi juga termasuk didalamnya perlindungan pasien dari tuntutan sosial terhadap prilaku kekerasan di lingkungan sosial (Caplan dalam Stuart & Laraia, 2005).
















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Model sosial merupakan salah satu contoh model yang dapat dikembangkan dan diaplikasikan dalam tatanan pelayanan keperawatan khususnya keperawatan jiwa. Fokus model sosial ini adalah lingkungan sosial yang dapat berpengaruh terhadap individu dan pengalaman hidupnya.
Aplikasi model sosial ini dapat diterapkan pada proses keperawatan jiwa yaitu pada saat perawat mengkaji pasien dengan gangguan sosial dan saat melakukan tindakan keperawatan. Dengan mengaplikasikan model sosial ini maka diharapkan dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan jiwa.

B.     Saran
1.      Perawat diharapkandapat menerapkan model konseptual keperawatan  jiwa khususnya model sosialdalam melakukan asuhan keperawatan jiwa dirumah sakit maupun dilingkungan masyarakat.
2.      Institusi pelayanan keperawatan khususnya rumah sakit maupun puskesmas diharapkan mampu melayani masyarakat dengan menggunakan model konseptual sosial  kepada masyarakat baik yang mengalami gangguan maupun tidak.
3.      Institusi pendidikan keperawatan dapat memberikan pendidikan yang mendalam mengenai model konseptual khususnya model sosialsehingga ketika turun kelapangan mahasiswa dan mahasiswi dapat melakukan perawatan yang baik dan benar.


DAFTAR PUSTAKA

Stuart, sundeen. 1998. Buku saku Keperawatan jiwa edisi 3. Jakarta ; EGC
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan jiwa. Bandung : PT Refika Aditama
Suliswati, Dkk. 2004. Konsep dasar keperawatan kesehatan jiwa.Jakarta : EGC
Anna, budi. 2004. Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC 

Konseptual Model Keperawatan Jiwa - Model Medikal


MAKALAH  KEPERAWATAN JIWA I
KONSEPTUAL MODEL KEPERAWATAN JIWA : MODEL MEDIKAL

logo stikes


DISUSUN OLEH : KELOMPOK 5
EDY NOVRIADI
LIANA SARI
DAI’MATUL HASANAH
TRI ASMAWATI
U. YENI MAULINA
WIRAYUDHA RUSADI
TARIQ SETIAWAN
MURADI





DOSEN PEMBIMBING:
WAHYU KIRANA, M.Kep., Sp. Jiwa


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM PONTIANAK
PRODI SI KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2011 / 2012












BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkembangan ilmu keperawatan, model konseptual dan teori merupakan aktivitas berfikir yang tinggi. Model konseptual mengacu pada ide – ide global mengenai individu, kelompok, situasi atau kejadian tertentu yang berkaitan dengan disiplin yang spesifik (Potter & Perry, 2005). Model konsep keperawatan digunakan dalam memberikan pengetahuan untuk meningkatkan praktik, penuntun penelitian serta mengidentifikasi bidang dan tujuan dari praktik keperawatan (Potter & Perry , 2005).
Pada umumnya, tenaga kesehatan khususnya tenaga kesehatan jiwa melakukan praktek dalam kerangka model konseptual. Perawat jiwa dapat bekerja lebih efektif jika tindakan mereka didasari pada suatu model yang mengenali adanya sehat atau sakit sebagai hasil dari berbagai karakteristik individu yang berinteraksi dengan faktor lingkungan (Sundeen & Stuart , 1998)
Salah satu model konseptual dalam keperawatan jiwa adalah model medikal. Model medikal ini fokusnya pada diagnosis penyakit mental dan proses pengobatan berdasarkan diagnosis. Pada model ini, gangguan perilaku disebabkan oleh penyakit biologis. Gejala – gejala yang timbul sebagai akibat dari kombinasi faktor – faktor fisiologik, genetik, lingkungan dan sosial. Perilaku menyimpang berhubungan dengan toleransi pasien terhadap stres. Diagnosis penyakit pada model ini dilandasi oleh kondisi yang ada dan informasi historis serta pemeriksaan diagnostik. Pengobatan pada model medikal ini berupa terapi somatik dan farmakologik selain berbagai teknik – teknik interpersonal. Fungsi model medikal adalah mengobati yang sakit dan proses pengobatan pada fisik, tidak menyalahkan perilaku kliennya (Sundeen & Stuart , 1998).
Dari uraian tentang model konseptual keperawatan jiwa yaitu model medikal, kelompok tertarik untuk membahas tentang model medikal tersebut secara lebih mendalam dalam sebuah makalah agar mahasiswa/i keperawatan mengetahui/memahami model konseptual keperawatan jiwa khususnya model medikal.

B.     Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah :
1.      Tujuan Umum
Untuk memahami model konseptual keperawatan jiwa khususnya model medikal
2.      Tujuan Khusus
a.       Menjelaskan model konseptual keperawatan jiwa
b.      Menjelaskan model konseptual keperawatan jiwa : model medikal
c.       Mengaplikasikan model konseptual keperawatan jiwa : model medikal

C.    Ruang Lingkup Penulisan
Ruang lingkup penulisan pada makalah ini, kelompok membatasi ruang lingkup penulisan yaitu konsep dasar tentang konseptual model keperawatan jiwa : model medikal.

D.    Metode Penulisan
Metode penulisan dalam penyusunan makalah ini, kelompok menggunakan metode deskriftif yaitu dengan menggambarkan konsep dasar tentang konseptual model keperwatan jiwa, model medikal.

E.     Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini terdiri dari 4 bab yang meliputi :
BAB I                  : Pendahuluan : latarbelakang, tujuan penulisan, ruang lingkup, metode   penulisan, sistematika penulisan,
BAB II                 : Tinjauan teoritis : model konseptual keperawatan, model konseptual keperawatan jiwa, model konseptual keperawatan jiwa : model medikal
BAB III               : Kasus , analisa kasus, penyelesaian masalah
BAB IV       : Penutup : Kesimpulan dan saran











BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.    Model Konseptual Keperawatan Jiwa
    1.      Model Konseptual
Model adalah contoh, menyerupai, merupakan pernyataan simbolik tentang fenomena, menggambarkan teori dari skema konseptual melalui penggunaan symbol dan diafragma, dan Konsep adalah suatu keyakinan yang kompleks terhadap suatu obyek, benda, suatu peristiwa atau fenomena berdasarkan pengalaman dan persepsi seseorang berupa ide, pandangan atau keyakinan. Model konsepadalah rangkaian konstruksi yang sangat abstrak dan berkaitan yang menjelaskan secara luas fenomena-fenomena, mengekspresikan asumsi dan mencerminkan masalah. (Hidayat, 2006, hal.42)
Model konseptual merupakan kerangka kerja konseptual, sistem atau skema yang menerangkan tentang serangkaian ide global tentang keterlibatan individu, kelompok, situasi, atau kejadian terhadap suatu ilmu dan perkembangannya. Model konseptual memberikan keteraturan untuk berfikir, mengobservasi dan menginterpretasi apa yang dilihat, memberikan arah riset untuk mengidentifikasi suatu pertanyaan untuk menanyakan tentang fenomena dan menunjukkan pemecahan masalah (Christensen & Kenny, 2009, hal. 29).
2.      Model Konseptual dalam Keperawatan
Model konseptual keperawatan merupakan suatu cara untuk memandang situasi dan kondisi pekerjaan yang melibatkan perawat di dalamnya. Model konseptual keperawatan memperlihatkan petunjuk bagi organisasi dimana perawat mendapatkan informasi agar mereka peka terhadap apa yang terjadi pada suatu saat dengan apa yang terjadi pada suatu saat juga dan tahu apa yang harus perawat kerjakan (Brockopp, 1999, dalam Hidayati, 2009).
Model konseptual keperawatan telah memperjelas kespesifikan area fenomena ilmu keperawatan yang melibatkan empat konsep yaitu manusia sebagai pribadi yang utuh dan unik. Konsep kedua adalah lingkungan yang bukan hanya merupakan sumber awal masalah tetapi juga perupakan sumber pendukung bagi individu. Kesehatan merupakan konsep ketiga dimana konsep ini menjelaskan tentang kisaran sehat-sakit yang hanya dapat terputus ketika seseorang meninggal. Konsep keempat adalah keperawatan sebagai komponen penting dalam perannya sebagai faktor penentu pulihnya atau meningkatnya keseimbangan kehidupan seseorang (klien) (Marriner-Tomey, 2004, dalam Nurrachmah, 2010)
Tujuan dari model konseptual keperawatan (Ali, 2001, hal. 98)
a.       Menjaga konsisten asuhan keperawatan.
b.      Mengurangi konflik, tumpang tindih, dan kekosongan pelaksanaan asuhan keperawatan oleh tim keperawatan.
c.       Menciptakan kemandirian dalam memberikan asuhan keperawatan.
d.      Memberikan pedoman dalam menentukan kebijaksanaan dan keputusan.
e.       Menjelaskan dengan tegas ruang lingkup dan tujuan asuhan keperawatan bagi setiap anggota tim keperawatan.
Konseptualisasi keperawatan umumnya memandang manusia sebagai mahluk biopsikososial yang berinteraksi dengan keluarga, masyarakat, dan kelompok lain termasuk lingkungan fisiknya. Tetapi cara pandang dan fokus penekanan pada skema konseptual dari setiap ilmuwan dapat berbeda satu sama lain, seperti penenkanan pada sistem adaptif manusia, subsistem perilaku atau aspek komplementer (Marriner-Tomey , 2004, dalam Nurrachmah, 2010)
3.      Keperawatan Jiwa
a.      Pengertian Keperawatan Kesehatan Jiwa( Yosep, 2010, hal. 1-2 )
1)      Menurut American Nurses Associations (ANA)
Keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri secara teraupetik dalam meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan mental klien dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada (American Nurses Associations).
2)      Menurut WHO
Kesehatan Jiwa bukan hanya suatu keadaan tidak ganguan jiwa, melainkan mengandung berbagai karakteristik yang adalah perawatan langsung, komunikasi dan management, bersifat positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadian yang bersangkutan.
3)      Menurut UU KES. JIWA NO 03 THN 1966
Kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual emosional secara optimal dari seseorang dan perkembangan ini selaras dengan orang lain.
Keperawatan jiwa adalah pelayanan keperawatan profesional didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respons psiko-sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa ( komunikasi terapeutik dan terapi modalitas keperawatan kesehatan jiwa ) melalui pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah, mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa klien (individu, keluarga, kelompok komunitas ).Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berusaha untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku sehingga klien dapat berfungsi utuh sebagai manusia (Sulistiawati dkk , 2005, hal. 5).
b.      Komponen Paradigma Keperawatan Jiwa
Prinsip keperawatan jiwa terdiri dari empat komponen yaitu manusia, lingkungan, kesehatan dan keperawatan(Sulistiawati dkk,  2005, hal. 5-6)
1)        Manusia
Fungsi seseorang sebagai makhluk holistik yaitu bertindak, berinteraksi dan bereaksi dengan lingkungan secara keseluruhan. Setiap individu mempunyai kebutuhan dasar yang sama dan penting. Setiap individu mempunyai harga diri dan martabat. Tujuan individu adalah untuk tumbuh, sehat, mandiri dan tercapai aktualisasi diri. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk berubahdan keinginan untuk mengejar tujuan personal. Setiap individu mempunyai kapasitas koping yang bervariasi. Setiap individu mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputuasan. Semua perilaku individu bermakna dimana perilaku tersebut meliputi persepsi, pikiran, perasaan dan tindakan.
2)        Lingkungan
Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam dirinya dan lingkungan luar, baik keluarga, kelompok, komunitas. Dalam berhubungan dengan lingkungan, manusia harus mengembangkan strategi koping yang efektif agar dapat beradaptasi. Hubungan interpersonal yang dikembangkan dapat menghasilkan perubahan diri individu.
3)        Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang menunjukkan salah satu segi kualitas hidup manusia, oleh karena itu, setiap individu mempunyai hak untuk memperoleh kesehatan yang sama melalui perawatan yang adekuat.
4)        Keperawatan
Dalam keperawatan jiwa, perawat memandang manusia secara holistik dan menggunakan diri sendiri secara terapeutik. Metodologi dalam keperawatan jiwa adalah menggunakan diri sendiri secara terapeutik dan interaksinya interpersonal dengan menyadari diri sendiri, lingkungan, dan interaksinya dengan lingkungan. Kesadaran ini merupakan dasar untuk perubahan. Klien bertambah sadar akan diri dan situasinya, sehingga lebih akurat mengidentifikasi kebutuhan dan masalah serta memilih cara yang sehat untuk mengatasinya. Perawat memberi stimulus yang konstruktif sehingga akhirnya klien belajar cara penanganan masalah yang merupakan modal dasar dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.
Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa bertujuan untuk mememberian asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan dan masalah klien, merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerja sama antara perawat dengan klien, dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Carpenito, 1989 dikutip oleh Keliat,1991).
Kebutuhan dan masalah klien dapat diidentifikasi, diprioritaskan untuk dipenuhi, serta diselesaikan. Dengan menggunakan proses keperawatan, perawat dapat terhindar dari tindakan keperawatan yang bersifat rutin, intuisis, dan tidak unik bagi individu klien. Proses keperawatan mempunyai ciri dinamis, siklik, saling bergantung, luwes, dan terbuka. Setiap tahap dapat diperbaharui jika keadaan klien klien berubah. Tahap demi tahap merupakan siklus dan saling bergantung. Diagnosis keperawatan tidak mungkin dapat dirumuskan jika data pengkajian belum ada. Proses keperawatan merupakan sarana / wahana kerja sama perawat dan klien. Umumnya, pada tahap awal peran perawat lebih besar dari peran klien, namun pada proses sampai akhir diharapkan sebaliknya peran klien lebih besar daripada perawat sehingga kemandirian klien dapat tercapai. Kemandirian klien merawat diri dapat pula digunakan sebagai kriteria kebutuhan terpenuhi dan / atau masalah teratasi. (Keliat, 2006, hal.1-3)
c.       Prinsip-Prinsip Keperawatan Kesehatan Jiwa
Prinsip-prinsip Keperawatan Kesehatan Jiwa menurut (Yosep, 2010, hal.6)
1)       Roles and functions of psychiatric nurse : competent care (Peran dan fungsi keperawatan jiwa : yang kompeten).
2)       Therapeutic Nurse patient relationship (hubungan yang terapeutik antara perawat dengan klien).
3)       Conceptual models of psychiatric nursing (konsep model keperawatan jiwa).
4)       Stress adaptation model of psychiatric nursing (model stress dan adaptasi dalam keperawatan jiwa).
5)       Biological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan biologis dalam keperawatan jiwa).
6)       Psychological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan psikologis dalam keperawatan jiwa).
7)       Sociocultural context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan sosial budaya dalam keperawatan jiwa).
8)       Environmental context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan lingkungan dalam keperawatan jiwa).
9)       Legal ethical context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan legal etika dalam keperawatan jiwa).
10)   Implementing the nursing process : standards of care (penatalaksanaan proses keperawatan : dengan standar- standar perawatan).
11)   Actualizing the Psychiatric Nursing Role : Professional Performance Standards (aktualisasi peran keperawatan jiwa: melalui penampilan standar-standar professional).


4.      Jenis-Jenis Model Konseptual Keperawatan Jiwa
Kebanyakan kaum profesional kesehatan mental memakai kerangka kerja prakteknya berdasarkan banyak konsep model. Sebuah model adalah sebuah batang ilmu pengetahuan yang berisi kerangka konsep pengetahuan yang berhubungan dengan perilaku manusia. Fungsinya agar pendekatan dan prakteknya bisa diterima secara logis dan mudah dievaluasi, berdasarkan hal-hal ilmiah dan mudah dipertanggungjawabkan. Dalam keperawatan jiwa ada delapan konsep yang dipakai.   ( Iyus Yosep ,2010, hal. 12)
Model
View of behavioral deviation
Therapeutic process
Roles of a patient & therapist
Psychoanalytical
(freud, Erickson)
Ego tidakmampumengontrolansietas, konfliktidakselesai
Asosiasibebas&analisamimpi
Transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu
Klien: mengungkapkansemuapikiran&mimpi
Terapist : menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien
Interpersonal
(Sullivan, peplau)
Ansietastimbul&dialamisecara interpersonal, basic fear is fear of rejection
Build feeling security
Trusting relationship & interpersonal satisfaction
Patient: share anxieties
Therapist : use empathy & relationship
Social
(caplan,szasz)
Social & environmental factors create stress, which cause anxiety &symptom
Environment manipulation & social support
Pasien: menyampaikanmasalahmenggunakansumber yang ada di masyarakat
Terapist: menggali system social klien
Existensial
(Ellis, Rogers)
Individugagalmenemukandanmenerimadirisendiri
Experience in relationship, conducted in group
Encouraged to accept self & control behavior
Klien: berperansertadalampengalaman yang berartiuntukmempelajaridiri
Terapist: memperluas kesadaran diri klien
Supportive Therapy
(Wermon,Rockland)
Faktor biopsikososial & respon maladaptive saat ini
Menguatkanresponkopingadaptif
Klien: terlibatdalamidentifikasi coping
Terapist: hubungan yang hangta dan empatik
Medical
(Meyer,Kreaplin)
Combination from physiological, genetic, environmental & social
Pemeriksaan diagnostic, terapi somatic, farmakologik&teknik interpersonal
Klien: menjalani prosedur diagnostic & terapi jangka panjang
Terapist : Therapy, Repporteffects,Diagnose illness, Therapeutic Approach

B.     Model Konseptual Keperawatan Jiwa Model Medikal
1.         Pengertian Model Medikal
Model medikal mengacu pada perawatan psikiatri yang didasarkan pada hubungan dokter-pasien. Ini berfokus pada diagnosis penyakit mental, dan pengobatan selanjutnya didasarkan pada diagnosis ini. Perawatan somatik, termasuk farmakoterapi dan electroconvulsive adalah komponen penting dari proses pengobatan. Aspek interpersonal model medis sangat bervariasi, dari wawasan intensif berorientasi intervensi untuk sesi singkat yang melibatkan manajemen medis obat. (Stuart dan Larai, 1998, Hal. 61)
Sebagian besar perawatan psikiatri modern didominasi oleh model medis. Profesional kesehatan lainnya mungkin terlibat dalam rujukan antar, penilaian keluarga, dan pengajaran kesehatan, tapi dokter dilihat sebagai pemimpin tim di bawah model ini. Elemen model lain perawatan dapat digunakan bersama dengan model medis. Misalnya, pasien dengan schzophrenia dapat diobati dengan obat fenotiazin. Pasien ini dapat juga diberikan dalam supportivetherapy untuk mengembangkan skiils sosial adaptif. (Stuart dan Larai, 1998, Hal. 61)
Sebuah kontribusi positif dari model medis telah menjadi eksplorasi terus menerus untuk penyebab penyakit mental yang menggunakan proses ilmiah. Baru langkah besar telah dibuat untuk belajar tentang fungsi sistem otak dan saraf. Kemajuan ini telah menyebabkan pemahaman tentang komponen fisiologis kemungkinan gangguan perilaku dan lebih banyak perawatan psikiatris efektif (Stuart , 1998, Hal. 61)

Model yang dikemukakan oleh Meyer, Kraeplin, Spitzer dan Frances ini mengemukakan bahwa  prilaku disebabkan oleh penyakit biologis. Gejala-gajala ini timbul akibat kombinasi faktor-faktor fisiologis, genetik, lingkungan, dan social. Prilaku menyimpang berhubungan dengan toleransi pasien terhadap stress (Stuart &Laraia , 2001, Hal. 56).
Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifaktor yang kompleks meliputi: aspekfisik, genetik, lingkungan dan faktorsosial. Sehingga focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostik, terapisomatik, farmakologikdanteknik interpersonal. Diagnosa penyakit didasarkan pada kondisi yang ada dan informasi historis serta pemeriksaan diagnostik. Pengobatan meliputi terapi somatik dan farmakologis selain berbagai teknik interpersonal. Peran pasien disini mengikuti program terapi yang dianjurkan dan melaporkan efek terapi kepada ahli terapi. Pasien menjalani terapi jangka panjang jika diperlukan. Ahli terapi menggunakan terapi somatik dan terapi interpersonal. Ahli terapi menegakkan diagnosis penyakit dan menentukan pendekatan terapeutik (Stuart &Laraia , 2001, Hal. 56).

Perawat berperan dalam berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur diagnostic dan terapi jangka panjang, therapist berperan dalam pemberian terapi, laporan mengenai dampak terapi, menentukan diagnosa, dan menentukan jenis pendekatan terapi yang digunakan (Stuart &Laraia , 2001, Hal. 56).
Menurut Meyer dan Kreplin, konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifaktor yang komplek meliputi: aspek fisik, genetik, lingkungan, dan faktor sosial. Sehingga fokus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostik, terapi somatik, farmakologi, dan tehnik interpersonal. Perawat berperan dalam berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur diagnostik dan terapi jangka panjang, terapist berperan dalam pemberian terapi, laporan mengenai dampak terapi, menentukan diagnosa dan menentukan jenis pendekatan terapi yang digunakan (Yosep , 2010, Hal. 15)
2.         Dilihat Dari Penyimpangan Perilaku
Model medis mengusulkan bahwa perilaku menyimpang merupakan gejala dari gangguan sistem saraf pusat. Andreasen menulis "penyakit mental benar-benar gangguan saraf”. Suatu masalah yang terjadi ketika saraf otak cedera begitu parah sehingga kapasitas penyembuhan internal tidak dapat memperbaikinya. Daftar beberapa jenis gangguan otak yang dapat menyebabkan penyakit mental diantaranya  hilangnya sel saraf, defisit dalam transmisi kimia, pola abnormal dari sirkulasi otak, masalah di pusat-pusat perintah di otak, dan gangguan dalam pergerakan pesan di sepanjang saraf. (Stuart, 1990, Hal. 62 )
Saat ini sifat yang tepat dari gangguan fisiologis belum dipahami dengan baik. Diperkirakan bahwa gangguan seperti gangguan bipolar, depresi berat dan skizofrenia melibatkan kelainan dalam transmisi impuls saraf. Hal ini juga dapat diketahui bahwa masalah ini terjadi pada tingkat sinaps dan melibatkan zat kimia saraf seperti dopamin, serotonin, dan norepinefrin. (Stuart, 1990, Hal. 62)
Banyak penelitian yang melibatkan otak dalam respons emosional berlangsung. Cabang lain penelitian berfokus pada stres dan respon manusia terhadap stres. Para peneliti bertanya, "mengapa beberapa orang tampaknya mentolerir stres yang besar dan terus berfungsi dengan baik, sedangkan yang lain berantakan ketika masalah kecil muncul?" Para peneliti menduga bahwa manusia memiliki ambang stres fisiologis yang mungkin secara genetik ditentukan. Bidang-bidang penelitian yang lebih baik dapat memandu pengobatan di masa mendatang (Stuart , 1998, Hal. 62).
Akibat manifestasi penyakit, kerusakan sistem persyarafan, ketidakseimbangan hormonal. Faktor lingkungan dan sosial dianggap sebagai faktor pencetus dan faktor pendukung. Faktor genetik dianggap cukup berperan. Penyimpangan perilaku karena klien tidak mampu bertoleransi terhadap stres(Stuart & Laraia , 2001, Hal. 57)

3.         Proses Terapi Medis
Proses terapi medis didefinisikan dengan baik dan akrab bagi kebanyakan pasien. Pemeriksaan pasien meliputi sejarah penyakit ini, sejarah sosial, sejarah medis, kajian sistem tubuh, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan status mental. Data tambahan dapat dikumpulkan dari orang lain yang signifikan, dan catatan medis ditinjau jika tersedia. Diagnosis kemudian dirumuskan, sambil menunggu penelitian lebih lanjut diagnostik dan pengamatan perilaku pasien. Proses ini dapat terjadi pada rawat jalan atau rawat inap secara, tergantung pada kondisi pasien. (Stuart, 1998, Hal. 62)
Diagnosis diklasifikasikan menurut manual diagnostik dan statistik gangguan mental, edisi keempat (DSM-IV) dari asosiasi psikiatris amerika. Nama – namapenyakit yang disertai dengan penjelasan kriteria diagnostik, terkait fitur umum medis dan psikiatris, diagram menunjukkan longitudinal dari gangguan, dan jenis kelamin tertentu, umur, dan aspek budaya dari masing – masing penyakitnya. Perubahan dalam manual mencerminkan perubahan dalam model medis perawatan kejiwaan. DSM pertama kali diterbitkan pada 1952, dan DSM-IV, yang diterbitkan pada tahun 1994. (stuart:1998, Hal. 62)

Setelah diagnosis dibuat, pengobatan dimulai oleh para dokter dan sesuai dengan rencana pengobatan. Anggota tim kesehatan lain mungkin menyumbangkan keahlian mereka. Respon terhadap pengobatan dievaluasi pada pengamatan tujuan dokter perilaku gejala. Terapi dihentikan bila gejala pasien telah disetorkan. Karena dalam sikap, beberapa orang yang mengalami depresi mungkin dapat kembali ke gaya hidup yang biasa mereka setelah suatu program pengobatan dan terapi suportif. Pasien lain mungkin memerlukan terapi jangka panjang, sering termasuk farmakoterapi dan studi laboratorium berkala (Stuart,1998, Hal. 62)

Diagnosis penyakit dilandasi oleh kondisi yang ada dan informasi historis serta pemeriksaan diagnostik. Pengobatan meliputi (Stuart&Laraia,2001, Hal.57) :
a.         Terapi somatik
b.        farmakoterapi
c.         Pengobatan : jangka panjang , jangka pendek
d.        Terapi suportif
e.         Insight oriented terapi yaitu belajar metode mengatasi stressor

4.         Peran Dari Terapi Pasien Dan Medis
Peran dokter dan pasien telah didefinisikan dengan baik oleh tradisi. Dokter sebagai penyembuh, mengidentifikasi penyakit pasien serta menyusun rencana pengobatan. Pasien mungkin memiliki beberapa orang mengatakan tentang rencana tersebut, namun dokter meresepkan terapi. (Stuart, 1998, Hal. 62)
Peran pasien melibatkan mengakui sedang sakit, yang dapat menjadi masalah dalam psikiatri. Pasien kadang-kadang tidak menyadari perilaku mereka terganggu dan secara aktif mungkin menolak pengobatan. Ini tidak sesuai dengan model medis. Pasien diharapkan untuk mematuhi program pengobatan dan mencoba untuk sembuh. Jika perbaikan tidak diamati , pengasuh dan orang lain yang signifikan sering menduga bahwa pasien tidak berusaha cukup keras. Ini bisa membuat frustasi kepada pasien yang sedang mencoba untuk sembuh dan kecewa dengan kurangnya kemajuan. Pasien juga mungkin harus membiarkan orang sulit memperpanjang perawatan sementara memenuhi seluruh kebutuhan (Stuart , 1998, Hal. 62).

5.         Terapi Yang Dapat Diberikan serta Peran Perawat
Disini adalah beberapa terapi yang bisa diberikan kepada klien yang mengalami gangguan dengan model konseptual medikal, serta beberapa peran perawat didalamnya (Stuart, 2002, Hal. 403) :
a.    Terapi Somatik
Terapi somatik adalah terapi yg diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif dgn melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik klien.
Jenis terapi somatik pd klien gangguan jiwa antara lain:
1)        Pengekangan
Pengekangan fisik termasuk penggunaan pengekangan me­kanik, seperti manset utk pergelangan tangan & pergelang­an kaki, serta seperai pengekang, begitu pula isolasi, yaitu dengan menempatkan pasien dlm suatu ruangan dimana dia tdk dpt keluar atas kemauannya sendiri.
a)        Indikasi Pengekangan
·           Perilaku amuk
·           Perilaku agitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan
·           Ancaman terhadap infegritas fisik
·           Permintaan pasien utk pengendalian perilaku ekster­nal
b)        Pengekangan dengan Seprei Basah dan Dingin
Pasien dpt diimobilisasi dgn membalutnya seperti mummi dalam lapisan seprei dan selimut. Lapisan paling dalam terdiri atas seprei yg telah direndam dalam air es. Walaupun mula­-mula terasa dingin, balutan segera menjadi hangat dan me­nenangkan.

2)        Isolasi
Menempatkan pasien dalam suatu ruang di mana dia tidakdapat keluar dari ruangan tersebut sesuai kehen­daknya. Tingkatan pengisolasian dapat berkisar dari penempat­an dalam ruangan yang tertutup, tapi tidak terkunci sampai pa­da penempatan dalam ruang terkunci dengan kasur tanpa seprei di lantai, kesempatan berkomunikasi yang dibatasi, & pasien memakai pakaian rumah sakit atau kain terpal yang berat. Penggunaan kain terpal kurang dapat diterima & hanya di­gunakan untuk melindungi pasien aiau orang lain.
a)        Indikasi penggunaan:
·           Pengendalian perilaku amuk yang potensial mem­bahayakan pasien atau orang lain dan tidak dapat di­kendalikan oleh orang lain dengan intervensi pe­ngekangan yang longgar, seperti kontak interpersonal atau pengobatan.
·           Reduksi stimulus lingkungan, terutama jika diminta oleh pasien.
b)        Kontraindikasi adalah:
(1)      Kebutuhan untuk pengamatan masalah medik
(2)      Risiko tinggi untuk bunuh diri
(3)      Potensial tidak dapat mentoleransi deprivasi sensori
(4)      Hukuman.
3)        Terapi Kejang Listrik
Terapi elektrokonvulsif (ECT) adalah suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal secara artifisial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang pada satu atau dua "temples." Jumlah tindakan yang dilakukan me­rupakan rangkaian yang bervariasi pada tiap pasien tergantung ; pada masalah pasien dan respons terapeutik sesuai hasil peng­kajian selama tindakan. Rentang jumlah yang paling umum dilakukan pada pasien dengan gangguan afektif antara enam sampai 12 kali, sedangkan pada pasien skizofrenia biasa­nya diberikan sampai 30 kali. ECT biasanya diberikan 3 kali seminggu atau setiap beberapa hari, walaupun sebenarnya bisa diberikan lebih jarang atau lebih sering.
Walaupun sebagai terapi ECT cukup aman, akan tetapi ada beberapa kondisi merupakan kontra indikasi diberikan terapi ECT.

a)        Kondisi­kondisi klien yang kontra indikasi tersebut adalah:
(1)   Tumor intra kranial, karena ECT dapat meningkatkan tekanan intra kranial.
(2)   Kehamilan, karena dapat mengakibatkan keguguran.
(3)   Osteoporosis, karena dengan timbulnya grandmall dapat berakibat terjadinya fraktur tulang.
(4)   Infark miokardium, dapat terjadi henti jantung.
(5)   Asthma bronkial, karena ECT dapat memperberat penyakit ini.
b)        Indikasi penggunaan adalah:
(1)   Penyakit depresi berat yang tidak berespons terhadap obat antidepresan atau pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat
(2)   Gangguan bipolar dimana pasien sudah tidak beres­pons lagi terhadap obat
(3)   Pasien dengan bunuh diri akut yang sudah lama tidak menerima pengobatan untuk dapat mencapai efek tera­peutik
(4)   Jika efek sampingan ECT yang diantisipasikan lebih rendah daripada efek terapi  pengobatan, seperti pada pasien lansia dengan blok jantung, dan selama ke­hamilan
4)        Fototerapi
Foto terapi atau terapi sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini diberikan dengan memaparkan klien pada sinar terang 5-20x lebih terang daripada sinar ruangan. Klien biasanya duduk, mata terbuka, 1,5 meter di depan klien diletakkan lampu setinggi mata.
Waktu dilaksanakan foto terapi bervariasi dari orang per orang. Beberapa klien berespon kalau terapi diberikan pada pagi hari, sementara yang lain lebih berespon kalau diberikan pada sore hari. Efek terapi ditentukan selain oleh lamanya terapi juga ditentukan oleh kekuatan cahaya yang digunakan. Dengan kekuatan cahaya sebesar 2500 lux yang diberikan selama 2 jam sehari efeknya sama dalam menurunkan depresi dengan terapi dengan kekuatan cahaya sebesar 10.000 lux dalam waktu 30 menit sehari.
Terapi sinar sangat bermanfaat dan menimbulkan efek yang positif. Kebanyakan klien membaik setelah 3-5 hari terapi kan tetapi bisa kambuh kembali segera setelah terapi dihentikan. Keuntungan yg lain klien tdk akan mengalami toleransi terhadap terapi ini.
a)        Indikasi :
Fototerapi dapat menurunkan 75% gejala depresi yang dialami klien akibat perubahan cuaca (seasonal affective disorder(SAD)), misalnya pada musim hujan atau musim dingin(winter) di mana terjadi hujan, mendung terus menerus yang bisa mencetuskan depresi pada beberapa orang.
b)        Mekanisme Kerja :
Fototerapi bekerja berdasarkan ritme biologis sesuai pengaruh cahaya gelap terang pd kondisi biologis. Dgn adanya cahaya terang terpapar pd mata akan merangsang sistem neurotransmiter serotonin & dopamin yg berperanan pd depresi.
c)        Efek Samping :
Kebanyakan efek samping yg terjadi meliputi ketegangan pada mata, sakit kepala, cepat terangsang, insomnia, kelelahan, mual, mata menjadi kering, keluar sekresi dari hidung dan sinus.
5)        Terapi deprivasi tidur
Terapi deprivasi tidur adalah terapi yg diberikan kpd klien degn cara mengurangi jumlah jam tidur klien. Hasil penelitian ditemukan bahwa 60% klien depresi mengalami perbaikan yg bermakna setelah jam tidurnya dikurangi selama 1 malam. Umumnya lama penurangan jam tidur efektif sebanyak 3,5 jam.
a)        Indikasi : Terapi deprivasi tidur dianjurkan untuk klien depresi.
b)        Mekanisme Kerja:
Mekanisme kerja terapi deprivasi tidur ini adalah mengubah neuroendokrin yang berdampak anti depresan. Dampaknya adalah menurunnya gejala-gejala depresi.
c)        Efek Samping :
Klien yg didiagnosa mengalami gang. efektif tipe bipolar bila diberikan terapi ini dpt mengalami gejala mania.

b.    Peran Perawat dalam Terapi psikofarmalogi (Stuart, 2002, Hal. 377)
Perawat harus mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi pskofarmakologis yang tersedia, tetapi informasi ini harus digunakan sebagai satu bagian dari pendekatan holistik pada asuhan pasien. Peran perawat mengikuti hal-hal sebagai berikut:
1)        Pengkajian pasien. Pengkajian pasien memberikan landasan pandangan tentang masing-masing pasien
2)        Koordinasi modalitas terapi. Koordinasi ini mengintegrasikan berbagai terapi pengobatan dan sering kali membingungkan bagi pasien.
3)        Pemberian agens psikofarmakologis. Program pemberian obat dirancang secara profesional dan bersifat individual.
4)        Pemantauan efek obat. Termasuk efek yang diinginkan maupun efek sampng yang dapat dialami pasien.
5)        Penyuluhan pasien. Memungkinkan pasien untuk meminum obat dengan aman dan efektif.
6)        Program rumatan obat. Dirancang untuk mendukung pasien disuatu tantangan perawatan tindak lanjut dalam jangka panjang.
7)        Partisipasi dalam penelitian klinis antardisiplin tentang uji coba obat. Perawat merupakan anggota tim yang penting dalam peneitian obat yang digunakan untuk mengobati pasien gangguan jiwa.
8)        Kewenangan untuk memberikan resep. Beberapa perawat jiwa yang memenuhi persyaratan pendidikan dan pengalaman sesuai dengan undang-undang praktik negaranya boleh meresepkan agens farmakologis untuk mengobati gejala dan memperbaiki status fungsional pasien yang mengalami gangguan jiwa.




















BAB III
APLIKASI MODEL KONSEPTUAL KEPERAWATAN JIWA : MODEL MEDIKAL

A.    Kasus
Seorang laki laki usia 20 tahun dibawa ke Rumah Sakit Jiwa oleh keluarga karena mengamuk, marah-marah (mengancam hendak membunuh bapaknya dan merusak barang rumah tangga) tanpa alasan yang jelas. 2 tahun SMRS (2007), pasien ditinggalkan pacarnya yang menikah dengan seorang tentara, kejadian tersebut membuat emosi pasien terguncang. Beberapa hari setelah itu, pasien meminum obat serangga dan sempat dibawa ke IGD RSU, dia melakukan itu dikarenakan mendapatkan perintah dari sesosok bayangan. Sejak saat itu (tahun 2007), keluarga membawa pasien untuk berobat ke rumah sakit jiwa. Enam bulan SMRS (tahun 2009), ayah pasien meninggal dunia setelah kejadian ini kondisi kejiwaan pasien semakin terguncang. Pasien menjadi pendiam, sering tidak dapat tidur waktu malam hari, mudah marah dan tersinggung, sering bicara dan tertawa sendiri. Pasien sering dibisiki dan mencium bau wangi tiap bayangan itu muncul. Pasien juga pernah merasa pikirannya disedot dan pikiran menjadi kosong. Pada tahun 2007 pasien mondok di RSJ dua kali. Pasien pulang dengan melarikan diri. Lalu saat dibawa keluarganya kontrol, pasien mondok lagi pada tanggal 14 Desember 2008. Pada tanggal 2 September 2009 (2 bulan SMRS), keponakan pasien menikah. Sejak saat itu pasien menjadi semakin murung dan sering mengurung diri. Selain itu pasien juga mengalami kesulitan tidur, nafsu makan yang sangat berkurang, sering mondar-mandir dengan telanjang, mudah marah, mengamuk, merusak alat-alat rumah tangga, mengganggu lingkungan, dan berkali-kali akan melakukan kekerasan terhadap ibunya. Lalu pasien dibawa ke RSSM oleh ibu dan saudara-saudaranya.
Keadaan umum baik, compos mentis, kesan gizi cukup. Tanda vital, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 76x / menit, RR 22x /menit, suhu afebris, tidak terdapat kelainan pada sistem organ lain. Status psikiatri yang didapat kesan umum compos mentis, sesuai umur, perawatan diri cukup, gizi cukup. Sikap dan tingkah laku non-kooperatif, roman muka normomimik, pembicaraan normoaktif. Persepsi terdapat halusinasi visual, halusinasi auditorik, halusinasi olfaktorius, halusinasi taktil, ilusi. Proses pikir bentuk pikir non realistik, arus pikir kuantitatif normal, kualitatif flight of idea, isi pikir terdapat waham bizzare, waham kebesaran, waham curiga. Gejala-gejala tersebut dialami oleh pasien selama lebih dari 1 bulan.
B.     Analisa Kasus
Berdasarkan diagnosis medis yang dilakukan, Sindrom yang didapat oleh klien antara lain sindroma psikotik (hendaya peran, gangguan dalam berperilaku, pola pikir dan perasaan, adanya distres), sindroma skizofrenia (waham bizzare, waham kebesaran, waham curiga, halusinasi visual, halusinasi auditorik, halusinasi olfaktori, halusinasi taktil, non realistik dengan onset lebih dari 1bulan), dan Sindrom depresi (kehilangan minat dan kegembiraan, penurunan aktivitas, merasa tidak berguna, rasa bersalah, pesimistis, sulit tidur, nafsu makan berkurang).
1.      Diagnosis
a.       Aksis I      :  Skizofrenia Tak Terinci 
b.      Aksis II     :  F.60.1 (Gangguan kepribadian skizoid)
c.       Aksis III   :   Tidak ada diagnosis
d.      Aksis IV  :    Tidak ada diagnosis
e.       Aksis V     :  GAF scale 60-51
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang termasuk dalam kelompok gangguan neurokognitif di mana terjadi gangguan dalam proses pikir dan persepsi. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan awal timbulnya skizofrenia. Secara biologis dikatakan bahwa skizofrenia mungkin timbul akibat keabnormalan dalam perkembangan struktur otak. Teori kedua dari kelompok biologis adalah hipotesis dopamin yang mengatakan bahwa skizofrenia terjadi akibat ketidakseimbangan kadar neurotransmitter dopamin di otak. Teori terakhir tentang skizofrenia menunjukan bahwa gangguan jiwa ini dapat diturunkan secara genetik.
Berdasarkan atas kriteria diagnostik yang tercantum dalam DSM IV-TR, maka seseorang dikatakan menderita skizofrenia bila mengalami dua atau lebih gejala berikut yang telah berlangsung selama sekurangnya satu bulan lamanya :
a.       Waham/delusi : gangguan isi pikir berupa suatu keyakinan yang salah, tidak sesuai realita, tidak dapat dikoreksi, dan tidak sesuai dengan latar belakang sosial dan budaya dari pasien.
b.      Halusinasi : gangguan persepsi di mana respon muncul tanpa adanya sumber stimulus dari lima panca indera. Halusinasi dapat berupa halusinasi pendengaran, halusinasi penglihatan, halusinasi pengecapan, halusinasi perabaan, halusinasi penghiduan.
c.       Pembicaraan kacau : merupakan gangguan pada proses pikir, derajatnya bervariasi dari gangguan ringan seperti derailmenthingga kondisi berat berupa inkoherensia di mana kata-kata pasien tidak dapat dimengerti lagi sepenuhnya.
d.      Perilaku kacau atau perilaku katatonik
e.       Gejala negatif seperti afek yang terganggu, ketiadaan pembicaraan, ketiadaan gerakan, sikap menarik diri berlebihan, dll.
Kriteria tersebut dapat ditegakan bila hanya ditemukan waham yang bersifat bizare (aneh) atau halusinasi pendengaran berupa suara yang terus-menerus berkomentar atau menyuruh-nyuruh pasien, atau suara-suara yang bercakap-cakap di antara mereka sendiri. Selain itu harus ditemukan pula gangguan yang jelas pada fungsi sosial dan pekerjaan.
Pada pasien terdapat gangguan persepsi berupa halusinasi visual, halusinasi auditorik , halusinasi olfaktorius, halusinasi taktil, ilusi dan terdapat pula gangguan proses pikir yaitu bentuk pikir non realistik, arus pikir kualitatif flight of idea. Selain itu terdapat gangguan isi pikir yaitu waham bizzare, waham kebesaran, waham curiga. Gejala tersebut telah dialami pasien selama lebih dari 1 bulan. Selain itu penegakan diagnosis diperkuat dengan didapatkan pula sindroma psikotik (hendaya peran, gangguan dalam berperilaku, pola pikir dan perasaan, adanya distres), sindroma skizofrenia (waham bizzare, waham kebesaran, waham curiga, halusinasi visual, halusinasi auditorik, halusinasi olfaktori, halusinasi taktil, non realistik dengan onset lebih dari1bulan), dan sindrom depresi (kehilangan minat dan kegembiraan, penurunan aktivitas, merasa tidak berguna, rasa bersalah, pesimistis, sulit tidur, nafsu makan berkurang). Dari gejala yang ditemukan dapat ditegakkan diagnosis skizofrenia pada pasien tersebut menurut DSM IV-TR.
Menurut PPDGJ pedoman diagnostik pada Skizofrenia tak terinci yaitu memenuhi kriteria umum untuk diagnosis Skizofrenia, tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia Paranoid, Herbefrenik, atau Katatonik, Residual maupun Depresi Paska Skizofrenia.
C.    Penyelesaian kasus
Pada pasien ini pada pertama-tama akan dilakukan electro convulsive terapy, kemudian akan dilanjutkan dengan farmakoterapi lewat pemberian risperidone 2x2mg dan trihexifenidil 2x2mg. Pada pasien dilakukan electro convulsif terapy (ECT), Electro Convulsif Therapy (ECT) atau yang lebih dikenal dengan elektroshock adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan untuk terapi pasien gangguan jiwa yang tidak berespon kepada obat psikiatri pada dosis terapinya. ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat memberi efek terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya selama 15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada pasien depresi yang tidak responsif terhadap terapi farmakologis. ECT ditujukan bagi pasien gangguan jiwa baik itu schizoprenia maupun depresi berat (terutama dengan risiko bunuh diri) yang tidak berespon terhadap terapi farmakologis dengan dosis efektif tinggi dan psikoterapi. Namun diperlukan pertimbangan khusus jika ingin melakukan ECT bagi ibu hamil, anak-anak dan lansia karena terkait dengan efek samping yang mungkin di timbulkannya. Efek samping ECT secara fisik hampir mirip dengan efek samping dari anesthesia umum. Secara psikis efek samping yang paling sering muncul adalah kebingungan dan memory loss setelah beberapa jam kemudian. Biasanya ECT akan menimbulkan amnesia retrograde dan antegrade. Beberapa ahli juga menyebutkan bahwa ECT dapat merusak struktur otak. Namun hal ini masih diperdebatkan karena masih belum terbukti secara pasti. Penggunaan electro convulsive terapy (ECT) pada kasus schizophrenia cukup memuaskan, terutama pada kasus-kasus yang tidak maksimal dengan farmakoterapi.
Efek samping khusus yang perlu diperhatikan :
1.      Cardiovaskuler :
a.       Segera : stimulasi parasimpatis (bradikardi, hipotensi)
b.      Setelah 1 menit : Stimulasi simpatis (tachycardia, hipertensi, peningkatan konsumsi oksigen otot jantung, dysrhythmia)
2.      Efek Cerebral :
a.       Peningkatan konsumsi oksigen.
b.      Peningkatan cerebral blood flow
c.       Peningkatan tekanan intra cranial
3.      Efek lain :
a.       Peningkatan tekanan intra okuler
b.      Peningkatan tekanan intragastric
4.      Peran Perawat
a.       Dapatkan prosedur tindakan
b.      Memberikan penyuluhan pada pasien dan keluarga tentang prosedur
c.       Pastikan status puasa pasien setelah tengah malam
d.      Minta pasien untuk melepaskan perhiasan , jepit rambut, kaca mata, dan alat bantu pendengaran
e.       Semua gigi palsu dilepaskan; tambalan gigi parsial dipertahankan
f.       Membantu mengosongkan kandung kemih pasien
g.      Berikan obat praterapi
h.      Pastikan obat dan peralatan yang diperlukan tersedia dan siap pakai
i.        Bantu pelaksanaan ECT
j.        Tenangkan pasien
k.      Dokter / ahli anestesi memberikan oksigen untuk menyiapkan pasien bila terjadi apnea karena relaksan otot
l.        Berikan obat
m.    Pasang spatel lidah yang diberi bantalan untuk melindungi gigi pasien
n.      Pasang elektroda. Dan syok diberikan
o.      Pantau pasien selama masa pemulihan
p.      Bantu pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan
q.      Pantau TTV
r.        Setelah pernafasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien sampai sadar. Pertahankan jalan nafas paten
s.       Jika pasien berespon, orientasikan pasien
t.        Ambulasikan pasien dengan bantuan, setelah memeriksa adanya hippotensi postural
u.      Izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkannya
v.      Berikan makanan ringan
w.    Libatkan dalam aktivitas sehari – hari seperti biasa, orientasikan pasien sesuai kebutuhan
x.      Berikan analgetik untuk sakit kepala jika diperlukan bagi klien.






BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kebanyakan kaum profesional kesehatan mental memakai kerangka kerja prakteknya berdasarkan banyak konsep model. Sebuah model adalah sebuah batang ilmu pengetahuan yang berisi kerangka konsep pengetahuan yang berhubungan dengan perilaku manusia. Fungsinya agar pendekatan dan prakteknya bisa diterima secara logis dan mudah dievaluasi, berdasarkan hal-hal ilmiah dan mudah dipertanggungjawabkan.
Salah satu Model konseptual dalam keperawatan jiwa adalah model medikal. Model medikal ini fokusnya pada diagnosis penyakit mental dan proses pengobatan berdasarkan diagnosis. Fungsi model medikal adalah mengobati yang sakit dan proses pengobatan pada fisik, tidak menyalahkan perilaku kliennya.
Perawat harus mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi psikofarmakologis yang tersedia, tetapi informasi ini harus digunakan sebagai satu bagian dari pendekatan holistik pada asuhan pasien. Kemudian Proses pengobatan ini Lebih ke arah somatik : farmakoterapi, ECT atau psikosurgery.

B.     Saran
1.      Perawat diharapkan dapat menerapkan model konseptual keperawatan  jiwa khususnya model medikal dalam merespon setiap perilaku pasien . seperti pasien yang mengalami depresi berat , dengan melakukan komunikasi terapeutik dan membina hubungan saling percaya antara pasien dan perawat itu sendiri. Selain itu dapat dilakukan elektroshock dimana elektroshock itu sendiri adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan untuk terapi pasien gangguan jiwa yang tidak berespon kepada obat psikiatri pada dosis terapinya.
2.         Institusi pelayanan keperawatan khususnya rumah sakit maupun puskesmas diharapkan mampu menerapkan model medikal pada setiap perawat yang ada, melalui pendekatan terapeutik  dalam mengatasi masalah yang timbul. Selain itu institusi pelayanan kesehatan juga harus mampu memberikan pelayan kesehatan yang baik bagi  pasien-pasien yang terkena gangguan jiwa.
3.         Institusi pendidikan keperawatan dapat memberikan pendidikan yang mendalam mengenai model konseptual khususnya model medikal sehingga mahasiswa dapat menjadikan model medikal sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengkaji penyebab timbulnya perilaku-perilaku kekerasan yang berlebihan / depresi berat yang bisa merugikan banyak orang.



DAFTAR PUSTAKA

Stuart Gail. 2007 . buku saku keperawatan jiwa edisi 5. Jakarta:EGC
Suliswati dkk. 2005. Konsep dasar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta:EGC
Isaacs ann. 2005.panduan belajar keperawatan kesehatan jiwa dan psikiatri edisi 3. Jakarta:EGC
Yosep Iyus. 2009.keperawatan jiwa.bandung:Refika aditama
Stuart dan sundeen’s.1998.principle practice of psychiatric nursing sixth edition. St Louis, missour:mosby-year book
Stuart dan larai.2001.principles and practice of psychiatric nursing. St Louis mossour : westline industrial drive
Budi Anna Keliat, dkk 1998. Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta:EGC
Christensen,P. J. dan Kenney, J.W. (2009), Proses keperawatan Aplikasi Model Konseptual, Ed.4, Jakarta, EGC.
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Zaidin, Ali. 2002. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta: Widya Medika