Tinea ( Infeksi Mikotik Pada Kulit )


BAB I
PENDAHULUAN
   A.    Latar Belakang
Sistem integumen adalah suatu sistem yang vital bagi kehidupan seluruh manusia, yang terletak pada organ tubuh terluar, melindungi bagian dalam tubuh,  luas 1,5-2 m2, berat 15 % BB, yang merupakan cermin kehidupan, dapat dilihat, diraba, dan hidup, sebagai   penampilan & kepribadian . Tapi bagaimana, apabila kulit kita mengalami gangguan, tentu saja ini akan mempengaruhi dari sistem  kerja lapisan kulit lainnya dan membuat penampilan yang terkesan jelek. Dan salah satu dari penyakit yang menyerang sistem integumen yang disebabkan oleh infeksi mikotik.
Agen mikotik adalah jamur yang merupakan salah satu mikroorganisme penyebab penyakit pada manusia.Invasi jamur (dermatofit) ke epidermis dimulai dengan perlekatan (adherens) artrokonodia pada keratinosit diikuti dengan penetrasi melalui atau diantara sel epidermis sehingga menimbulkan reaksi dari hospes.
Tinea adalah jenis gangguan kulit yang disebabkan oleh jamur.Tinea yang  juga disebut dermatofitosis  adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya lapisan teratas pada kulit pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur dermatofita(jamur yang menyerang kulit). (Adhi Djuanda, 2000:90).
Pertumbuhan tinea terbatas pada lapisan kulit mati, tetapi didukung oleh lingkungan setempat yang lembab dan hangat. Jamur ini telah berevolusi sehingga kelangsungan hidup dan penyebaran spesiesnya tergantung pada infeksi manusia atau hewan. Anda bisa mendapatkannya dengan menyentuh orang yang terinfeksi, dari permukaan lembab seperti lantai kamar mandi, atau bahkan dari binatang peliharaan. Bagaimana pun juga, Tinea harus dipikirkan sebagai keadaan yang cukup serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita akibat tidak beratnya tetapi gejala ini dapat mengalami ganguan body image dan juga dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Penderita akan mengalami keterbatasan dalam aktifitas sehari-hari, sering meninggalkan sekolah bagi yang bersekolah  atau pekerjaannya atau bagi yang telah berkerja. Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, oleh karena negara kita beriklim tropis dan kelembabannya tinggi.
 Di Indonesia angka kejadian Tinea paling tinggi sekitar 30% dan pekerja penebang kayu di Palembang dan 11,8% dan pekerja perusahaan kayu lapis menderita dermatitis kontak utama Wijaya (1972) menemukan 23,75% dan pekerja pengelolaan  minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis akibat kerja, sementara Raharjo (1982) hanya menemukan 1,82%. Sumamur (1986) memperkirakan bahwa 50-60% dari seluruh penyakit akibat kerja adalah dermatofitosis akibat kerja. Dari data sekunder ini terlihat bahwa dermatofitosis akibat kerja memang mempunyai prevalensi yang cukup tinggi, walaupun jenis dermatofitosisnya tidak sama. Dan angka insidensi dermatofitosis pada tahun 1998 yang tercatat melalui Rumah Sakit Pendidikan Kedokteran di Indonesia sangat bervariasi, dimulai dari persentase terendah sebesar 4,8 % (Surabaya) hingga persentase tertinggi sebesar 82,6 % (Surakarta) dari seluruh kasus dermatomikosis. Begitu pula bagi para kalangan belajar, gejala-gejala yang timbul dari tinea ini akan mengakibatkan sangat terganggunya proses belajar mereka di sekolah, harga diri klien menjadi rendah karena menggangu body image.
Tinea  juga dipengaruhi kebiasan pola hidup yang tidak bersih. Penyakit ini masih sering disepelekan oleh masyarakat, untuk itu perlu diberikan beberapa informasi agar penderita tidak terlalu meremehkan dan dapat mengetahui berbagai upaya untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi yang lain.
Berdasarkan uraian diatas tentang Tinea, dimana angka kejadian ini sangat sering berada disekitar kita, dan sering diabaikan penanganaanya, sehingga membuat semakin banyak angka penderita, oleh karena itu kelompok tertarik untuk membahas tentang penyakit Tinea yang diakibatkan infeksi mikotik  pada sistem integumen ini lebih mendalam yang disajikan dalam sebuah makalah sehingga mahasiswa dan mahasiswi mengetahui bagaimana jika terjadi infeksi  mikotik pada sistem integumen khususnya Tinea. Dan mahasiswa/ mahasiswi dapat melakukan asuhan keperawatan terhadap klien dengan baik dan benar, serta pencengahan yang tepat agar  tidak menyebar luas untuk masyarakat dan diri sendiri.

B.     Tujuan
1.      Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang penyakit infeksi mikotik: Tineadan memberipengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa / mahasiswi tentang penyakit integumen khususnya Tinea yang disebabkan infeksi mikotik.
2.Tujuan Khusus
a.       Mengetahui tentang mekanisme penyakit infeksi mikotik
b.      Mengetahui konsep dasar penyakit Tinea
c.       Mengetahui asuhan keperawatan penyakit Tinea

C.    Ruang Lingkup Penulisan
Pada makalah ini, kelompok membatasi ruang lingkup penulisan yaitu mekanisme infeksi mikotik pada sistem integumen, konsep dasar tentang penyakit Tinea, yang terbagi atas, Tinea kapitis, kruris,pedis, ungium , korporis, serta asuhan keperawatan klien dengan penyakit pada sistem integumen : Tinea
D.    Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, kelompok menggunakan metode deskriftif yaitu dengan menggambarkan konsep dasar tentang infeksi mikotik: Tinea dan asuhan keperawatan klien dengan penyakit Tinea, dengan melakukan tinjauan terhadap beberapa referensi baik melalui buku literatur yang terdapat di perpustakaan maupun melalui media informasi online (internet).
E.     Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini terdiri dari 4 bab yang meliputi :
BAB I:            Pendahuluan : Latar belakang, Tujuan penulisan, Ruang lingkup,  Metode penulisan, Sistematika penulisan,
BAB II:           Tinjauan teoritis : mekanisme infeksi mikotik, konsep dasar penyakit Tinea, klasifikasi Tine berdasarakan lokasi terjadinya, penyebab, manifestasi, patofisiologi, dan lain-lain.
BAB III:         Asuhan Keperawatan Klien dengan infeksi mikotik pada sistem integumen; Tinea
BAB IV:         Penutup : Kesimpulan dan Saran.

















BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.      Mekanisme Infeksi Mikotik Pada Sistem Integumen
Mikotik berhubungan langsung dengan ilmu biologi, yang membahas spesifikasi tentang fungi, penemuan pendidikan biologi diharapkan dapat menjadi wahana bagi mahasiswa untuk mempelajari dirinya sendiri dan alam sekitar beserta isinya yang terdiri dari dua macam yaitu makhluk hidup (biotik) dan makhluk tidak hidup (abiotik) (Bambang, 1998).
1.      Konsep Dasar Fungi
Fungi memperoleh sumber karbon dari substansi organik baik dari material hidup(parasit), maupun mati (saprofit) secara absorbsi. Molekul sederhana seperti gula danasam amino dapat langsung terdifusi ke dalam sel jamur, Makromolekul harus disederhanakan oleh enzim hidrolisis sebelum terserap ke dalam selnya.
a.       Pengertian fungi
Fungi adalah organisme yang terdapat dimana-mana di bumi, baik di daerah tropik, subtropik, di kutub utara, maupun antarika. Fungi juga ditemukan di darat, di perairaian tawar, di laut, di mangrove, di bawah permukaan tanah, di kedalaman laut, dipengunungan, maupun di udara. Banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan fungi, antara lain kelembapan, suhu, keasaman substrat, pengudaraan, dan kehadiran nutrien-nutrien yang diperlukan.
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa Fungi adalah nama regnum dari sekelompok besar makhluk hidup eukariotik heterotrof yang mencerna makanannya di luar tubuh lalu menyerap molekul nutrisi ke dalam sel-selnya. Fungi memiliki bermacam-macam bentuk. Fungi memperbanyak diri secara seksual dan aseksual.



b.      Jenis fungi yang menginfeksi kulit
Dermatofit dan non dermatofit, jamur ini termasuk dalam kategori jamur yang menginfeksi daerah superfisialis kulit (epidermis). Perbedaan kedua tipe ini dalam menginfeksi adalah posisi (kedalaman).
Dermatofit bisa menginvasi ke dalam lapisan epidermis, gangguan dapat ditemukan mulai dari stratum basal sampai stratum korneum. Non dermatofit hanya bisa menginfeksi sampai lapisan paling luar dari stratum korneum. Perbedaan ini disebabkan jamur dermatofit ini mengeluarkan zat tertentu (lipofilik dan proteofilik) untuk membuat epidermis ruptur, sementara non-demartofit tidak mempunyai zat ini.
 Untuk kedua jamur ini, pemeriksaan tidak dilakukan pada histopatologi, tetapi cukup untuk menemukan jamur (terutama hifa) dalam sediaan kulit yang dicurigai terinfeksi jamur.
Pada penyebab penyakit tinea, jamur yang ditemukan yaitu jamur dermatofit, Jamur dalam kategori ini diklasifikasikan dalam tiga genus antara lain: Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Cara penularan jamur ini ada dua cara yaitu langsung (epitel atau rambut yang terinfeksi jamur) dan tidak langsung (air atau pakaian yang ada jamur). Pembagian kelainan kulit ini terbagi menjadi dua kata, kata pertama adalah ‘tinea’ dan diikuti oleh kata kedua yang menyatakan lokasi tubuh yang terinfeksi.
c.       Struktur Jamur
Jamur Dermatofit berbentuk kapsul dan hifa, dinding jamur yang terdiri atas lapisan polsakarida sebagai kapsulnya dan chitin yang terdiri dari N. acetyl glucosamine menyebabkan jamur sulit di basmi oleh sistem imun nonspesifik, (Siregar, 2004).
d.      Reproduksi Jamur
Jamur bereproduksi secara Seksual dan Aseksual, perbanyakan seksual dengan cara, dua hifa dari jamur berbeda melebur lalu membentuk zigot lalu zigot tumbuh menjadi tubuh buah, sedangkan perbanyakan aseksual dengan cara membentuk spora, bertunas atau fragmentasi hifa. Jamur memiliki kotak spora yang disebut sporangium. Di dalam sporangium terdapat spora. Contoh jamur yang membentuk spora adalah Rhizopus. Contoh jamur yang membentuk tunas adalah Saccharomyces.
Sedangkan dari sudut lain mengatakan bahwa fungi adalah mikroorganisma eukaryotik yang hidup secara saprofit karena tidak dapat berfotosintesa. Pada dasarnya sel -sel fungi hampir sama dengan sel - sel hewan. Bahkan hal ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa sulit ditemukan strategi yang tepat dalam mengobati infeksi oleh jamur tanpa berefek toksik bagi inang atau host nya.
Di alam ini fungi dapat bersifat sangat merugikan manusia dengan menimbulkan infeksi (penyakit) dan toksin yang dihasilkan ataupun bersifat menguntungkan dengan menghasilkan produk - produk yang dapat digunakan oleh manusia sebagai contoh antibiotika, vitamin, asam organik dan enzim. (Artikel kesehatanimunologi  dermatofitosis Dr. Moh. Ifnudin. Spkk.)

2.      Infeksi Mikotik Pada Kulit
Jamur merupakan salah satu mikroorganisme penyebab penyakit pada manusia, penyakit yang disebabkan jamur pada manusia disebut mikosis. Dermatofitosis adalah nama sekelompok penyakit kulit yang disebabkan oleh dermatofit, yaitu sekelompok jamur yang tumbuh di lapisan kulit mati (keratin).
Dermatofit memiliki kemampuan memanfaatkan keratin sebagai sumber gizi karena memiliki kapasitas enzimatik yang unik (keratinase). Pertumbuhan tinea terbatas pada lapisan kulit mati, tetapi didukung oleh lingkungan setempat yang lembab dan hangat. Jamur ini telah berevolusi sehingga kelangsungan hidup dan penyebaran spesiesnya tergantung pada infeksi manusia atau hewan. Penderita bisa mendapatkannya dengan menyentuh orang yang terinfeksi, dari permukaan lembab seperti lantai kamar mandi, atau bahkan dari binatang peliharaan.( Robin, 2005)
Didalam Artikel kesehatanimunologi  dermatofitosis Dr. Moh. Ifnudin. Spkk. Invasi jamur dermatofit ke epidermis dimulai dengan perlekatan (adherens) artrokonodia pada keratinosit diikuti dengan penetrasi melalui atau diantara sel epidermis sehingga menimbulkan reaksi dari hospes.
Proses perlekatan artrokonodia ke keratinosit pada stratum korneum, memerlukan waktu 2 jam dimana terjadi pertumbuhan artrokonidia dan perpanjangan hifa. Penetrasi ke dalam epidermis disebabkan karena dermatofit bersifat keritinofilik, mempunyai ensim proteolitik keratinase yang dapat merusak keratin dari kulit, rambut, dan kuku.
Untuk dapat menimbulkan penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh baik non-spesifik  maupun spesifik. Selain itu dermatofit sebagai suatu jamur patogen, harus mampu untuk :
a.         Menempel dan menembus kulit atau selaput lendir.
b.         Bertahan dan menyesuaikan diri terhadap temperature dan lingkungan jaringan hospes.
c.         Tumbuh, berkembang biak dan mengatasi sisetm pertahanan tubuh non-spesifik dan spesifik.
d.        Menimbulakan kerusakan jaringan.
Kemampuan dematofit untuk menyesuaikan diri di dalam lingkungan jaringan hospes dan mengatasi pertahanan seluler merupakan mekanisme penting dalam pathogenesis dermatofitosis.
Lingkungan di kulit penderita yang sesuai merupakan faktor penting bagi perkembangan dermatofitosis. Kulit tidak utuh akibat trauma, kelembaban tinggi dengan maserasi merupakan faktor yang memudahkan infeksi. Pakaian ketat yang tidak menyerap keringat dapat meningkatkan kelembaban sehingga memudahkan timbulnya Tinea pedis.
Pada masa inkubasi, dermatofit akan tumbuh dan berkembang di stratum, korneum, belum menimbulkan kelainan klinik meskipun pemeriksaan KOH dapat positif. Selain itu, untuk menimbulkan penyakit dibutuhkan keadaan dimana kecepatan pertumbuhan dermatofit sama atau lebih cepat dibandingkan epidermal turn over dari epidermis.
Karatinase atau ensim proteolitik lain yang diproduksi jamur berpangaruh terhadap kolonisasi dan daya dermatofit tersebut. Dermatofit juga memproduksi katalase dan superoxide dismutase yang dapat melawan sistem myeloperoksidase dari sel fagosit.
3.      Sistem Imun yang Bereaksi
Menurut Roitt 1996, didalam Artikel kesehatanimunologi  dermatofitosis Dr. Moh. Ifnudin. Spkk. Sistem imun nonspesifik marupakan pertahanan tubuh bawaan terdepan dalam menghadapi infeksi jamur oleh karena dapat memberikan reaksi langsung terhadap antigen yang masuk, sedang sistem imun spesifik mambutuhkan waktu untuk mengenal antigen jamur terlebih dahulu sebelum dapat memberikan reaksinya.
Disebut system imun nonspesifik karena tidak spesifik ditujukan terhadap antigen atau mikroorganisme tertentu yang telah ada dan berfungsi sejak lahir.Komponen penting dalam sistem imun nonspesifik antara lain:
a.       Pertahan fisik / mekanik berupa kulit dan selaput lendir yang
utuh dan sehat.
b.       Pertahanan biokimia yang dapat menghambat infeksi jamur dikulit berupa :
1)      pH asam dari keringat / vagina
2)      Sekresi sebaseus berupa asam lemak
3)      Ensim yang bersifat antimicrobial
Sesudah pubertas, produksi asam lemak jenuh pada kulit kepala menigkat menyababkan inefksi jamur dermatofit pada kulit kepala orang dewasa lebih jarang. Transferin tidak jenuh di dalam serum merupakan serum inhibitory factor (SIF), mampu mengikat ion Fe yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dermatofit.Alpha macroglobulin keratinase inhibitor menghambat kerja ensim keratinase sehingga dapat menghalangi pertumbuhan dermatofit. Namun jika sistem tubuh sedang lemah dan tidak bisa melawan dermatofit, maka terjadilah Dermatofitosis yang merupakan sekelompok penyakit kulit yang disebabkan oleh dermatofit yang diantaranya adalah tinea, yang diklasifikasikan dari tempat berkembangnya jamur.
B.       Konsep Dasar Penyakit Tinea
1.      Defenisi Tinea
Tinea adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya lapisan teratas pada kulit pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur dermatofita(jamur yang menyerang kulit), (Adhi Djuanda, 2000).
Tinea yang merupakan salah satu dermatositosis adalah Infeksi fungus superficial pada kulit yang disebabkan oleh spesies dermatofilia Micosporum, Epidermophyton, atau Trycophyton, ( Hartanto, Herawati, 2009).
Dari kedua defenisi diatas dapat disimpulkan bahwas, Tinea adalah penyakit yang disebabkan oleh dermatofit, yang menyerang pada lapisan teratas dari kulit (epidermis).

2.      Etiologi
Penyebab tinea adalah jamur dermatofita yang merupakan kelompok jamur berfilamen, yang terbagi dalam tiga genus yaitu, Trychophyton, Mycrosporum, dan Epidermophyton. Jamur ini dapat menginfeksi jaringan kreatin manusia maupun binatang (Mansjoer Arief, 2000).

3.      Patofisiologi
Infeksi dimulai dari kolonisasi hifa, dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi kedalam jaringan epidermis, dan menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhan jamur dengan pola radial didalam stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit, dengan batas yang jelas dan meninggi yang disebut ring wrom.(Mansjoer Arief, 2000).

jamur
Trichophyton
Microsporum
epidermophyton
 
                                                                                                   
Gguan citra tubuh
nyeri
nyeri
lesi
Kerusakan itegritas kulit
Keratinase
Infasi korneum
Kolonisasi hifa pada kreatinase
Enzim keratolitik
Berdifusi ke epidermis
Reaksi peradangan lesi
rambut
Superficial kulit
kuku
gatal
Rambut rontok-alopesia
Warna kulit abu-abu
Mudah patah
Lipatan paha
Rapuh (peradangan kuku)
gatal
Di garuk
Gguan pola tidur
Merusak keratin
Sela kaki
Bau
gatal
Gguan citra tubuh
Gatal
Kemerahan

Kerusakan integritas kulit

Modus Transmisi
Hewan ternak
Manusia
Menempel dikulit
Kerusakan integritas kulit
nyeri
Ganguan citra tubuh
nyeri
Skema  pathway  tinea 1.1 menurut Mansjoer, Arief (2000)
 




















Skema 2.1. patofisiologi Tinea secara umum
( Sumber : Mansjoer Arif, 2000)
4.      Pemeriksaan Penunjang
Menurut Mansjoer Arief (2000), pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan pada penderita penyakit tinea, bahan pemeriksaan berupa kerokan kulit, rambut dan kuku. terlebih dahulu tempat kelainan dibersihkan dengan alkohol 70% kemudian dilakukan :
a.       Kulit berambut halus (glabrous skin ). Kelainan dikerok dengan pisau tumpul steril. Sisik kulit dikumpulkan pada gelas obyek.
b.      Kulit berambut. Spesimen yang harus diambil adalah skauma, tunggul rambut dan isi rambut folikel. Sampel rambut diambil dengan forsep dan skauma dikerok dengan skapel tumpul. Rambut yang diambil adalah rambut yang goyah (mudah dicabut) pada daerah lesi. Pemeriksaan dengan lampu Wood dilakukan sebelum pengumpulan bahan untuk melihat kemungkinan adanya flouresensi didaerah lesi pada kasus-kasus tinea kapitis tertentu.
c.       Kuku, bahan diambil dari permukaan kuku yang sakit, dipotong lalu dikerok sedalam dalamnya hingga mengenai seluruh tebal kuku. bahan dibawah kuku diambil juga.
Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan diatas gelas obyek, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH 20%. Tunggu 15-20 menit untuk melarutkan jaringan. Pemanasan diatas api kecil mempercepat proses pelarutan. Pada saat mulai keluar uap, pemanasan cukup. Bila terjadi penguapan, akan terbentuk kristal KOH sehingga mengganggu pembacaan.
Tekhnik lain yaitu dengan penambahan dimetil sulfoksida(DMSO) 40% pada KOH akan mempercepat penjernihan sediaan tanpa pemanasan. Untuk melihaat elemen jamur lebih nyata, ditambahnkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta parker superchrom blue black.
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula mula dengan pembesaran 10 x 10, keudian 10 x 45, pemeriksaan dengan pembesaran 10 X 100 biasanya tidak diperlukan.Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa. Sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat dan cabang, maupun spora berderet.

5.      Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tinea menurut Mansjoer Arief (2000).
Tujuan pengobatan meliputi :
a.       Menyembuhkan penyakit, yaitu hilangnya gejala klinis dan pemeriksaan mikologi negatif.
b.      Mencegah perkembangan penyakit menjadi kronis.
c.       Mencegah kekambuhan.
Strategi pengobatan meliputi :
a.       Diagnosis yang tepat
b.      Menghilangkan atau mencegah fakto predisposisi. Fakttor tersebut antara lain adalah kelembabapan karena keringat atau lingkungan yang panas, iritasi oleh baju, orang sakit yang berbaring lama, friksi lipatan kulit pada orang gemuk, imunitas rendah.
c.       Penentuan obat dilakukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan, daerah yang terkena yakni lokasi dan luas lesi. Stadium penyakit (akut atau kronis), jamur penyebab, karena adanya perbedaan kepekaan terhadap obat, serta harga sehingga dapat ditentukan apakah akan diberikan obat oral, topikal, atau pun kombinasi.
d.      Manghilangkan sumber penularan baik dari manusia, hewan,tanah maupun benda disekeliling yang mengandung elemen jamur. Spora dermatofit  dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama.
e.       Mengoptimalkan kepatuhan  pasien dengan menerangkan perjalan penyakitnya, pemilihan obat yang tepat dapat diterima oleh pasien, dan bila dianggap perlu diterangkan juga tentang biaya pengobatan.
f.       Mengefektifkan cara penggunaan obat :
1)      Bersihkan lesi dengan air dan sabun lunak terutama didaerah berkusta, kemudian keringkan.
2)      Oleskan obat 1 lapis tipis menutupi lesi dan lebih kurang 1 inci kearah luar lesi.
3)      Oleskan obat 2 kali sehari pagi dan malam hari.
Obat-obat sistemik dan topikal yang digunakan antara lain :
1)      Sistemik
a)      Griseofulvin bersifat pungistatik dan bekerja hanya terhadap dermatofit.Dosis 0,5 -1 gram untuk orang dewasa dan 0,25 -0,5 gram untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/ kg BB. Dosis tunggal atau terbagi dan absopsi meningkat bila diberikan bersama makanan berlemak. Sediaan mikrosize500 mg, setara dengan sediaan ultra mikrosize333 mg. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyebab, dan keadaan komunitas.Obat diberikan sampai gejala klinis membaik. Biasanya lebih kurang 1 bulan. Efeksampingnya ringan,misalnya sakit kepala mual atau diare dan reakasi fotosensitifitas pada kulit.
b)     Golongan asol
ketonasol efektif untuk dermatofitosis.Pada kasus-kasus  resisten terhadap griseofulfin, obat tersebut dapat diberikan 200mg /hari selama 3-4 minggu pada pagi hari setelah makan.Ketokonasal merupakan kontra indikasi untuk pasien kelainan hati. Itrakonazole merupakan derivat triazol yang berspekterum aktifitas invitro luas dan bersifat fungistatik.Dosis 100 mg perhari selama 2 minggu atau 200 mg per hari selama 1 minggu, memberi hasil baik pada tinea. Pada tinea ungulium dengan dosis 400 mg perhari selama seminggu tiap bulan dalam 2-3 bulan.





6.      Pencegahan
Penyakit tinea ini sangat erat hubungannya dengan pola kebersihan, baik dari kebersihan diri, lingkungan maupun hewan ternak peliharaan, maka dari itu penyakit tinea sangat mudah sekali menyebar dan terjadi, namun penyakit ini juga dapat dicegah, cara pencegahannya antara lain :
a.       Menggunakan pakaian longgar dan sedapat mungkin terbuat dari bahan katun.
b.       Menggunakan kaos kaki dari bahan katun dan menghindari memakai kaos kaki yang lembab.
c.        Mengganti pakaian setiap hari dengan pakaian kering. (untuk yang kos-kosan hendaknya tidak membiasakan diri memakai pakian yang tergantung berhari-hari tanpa dicuci)
d.       Menggunakan sepatu yang tidak lembab (jangan lupa menjemur sepatu).
e.        Mengeringkan handuk setelah setiap kali digunakan.
f.        Menghindari memakai pakaian orang lain yang sedang menderita infeksi jamur kulit.
g.        Mandi dengan air bersih segera setelah mandi di tempat-tempat umum.
h.       Jika perlu, menaburkan bedak atau bedak anti jamur terutama di sela-sela jari kaki dan pelipatan kulit.
Tinea diklasifikasikan berdasarkan tempatnya, yaitu :
1.      Tinea Kruris
a.       Defenisi
Tinea kruris adalah penyakit infeksi jamur dermatofita di daerah liptan paha. (Hendrato Natadidjaja, 1990).
Gambar :2.1. Tinea Kruris
(Sumber : sedico.net )

b.      Etiologi
Menurut Hendrato Natadidjaja, 1990.Penyebab yang tersering yaitu :
1)      T.rubrum
Jamur ini tidak diketahui dari mana asalnya, hanya saja jamur ini sering berada di tempat umum, seperti kolam renang umum, tempat pemandian umum air panas, bentuknya seperti benang, yang diketahui jamur ini bertipe hifa.
Gambar 2.2T.rubrum dihasil mikroskopis
( Sumber :dokteryes.blogspot.com )





2)       T.mentagrophytes.
Jamur berbentuk hifa :
Gambar 2.3T.mentagrophytes
 ( Sumber :an4lisa.wordpress.com )

c.       Manifestasi klinis
Menurut Hendrato Natadidjaja (1990) :
1)      Gatal
2)      Perubahan kulit menjadi coklat kemerah merahan dibagian lipatan paha.
3)      Terasa panas dibagian yang berubah warnanya.
4)      Perih dibagian lipatan paha.

d.      Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer Arief (2000), prinsip pengobatan pada tinea kruris lebih sama dengan prinsip pengobatan pada tinea korporis
1)      Obat topikal
Merupakan pilihan utama. Seperti pada pengobatan tinea korporis, obat obatan klasik, derivat imidazol, dan derivat alilamin dapat digunakan dengan cara pengobatan dan lama pengobatan yang lebih lama.
2)      Obat sistemik
Pengobatan sistemik hanya diberikan atas indikasi tertentu misalnya lesi yang meluas, karena pemakaian obat topikal saja sudah cukup efektif. Obat yang dipakai antara lain griseofulvin, ketokonazole, itrakonazole, fulkonazole serta terbinafin.

e.       Prognosis
Menurut Hendrato Natadidjaja (1990).Prognosis tinea kruris dapat menjadi bagus jika terapi dan pengobatan yang dilakukan bagus tetapi akan menjadi menetap dapat terjadi jika penderita tidak menjaga kebersihan dan hygiene tempat yang terkena infeksi jamur itu dengan baik. Antaranya dengan memastikan lipatan paha selalu kering, menghindari memakai pakaian ketat, menggunakan bedak anti jamur selepas mandi dan memastikan tempat tersebut kering untuk menghalangi jamur tumbuh tumbuh.

2.      Tinea korporis
a.       Definisi
Tinea corporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai oleh baik lesi inflamasi maupun noninflamasi pada glabrous skin (kulit tubuh yang tidak berambut) seperti: bagian muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal. Sinonim untuk penyakit ini adalah tinea sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Fiechte, kurap, herpes sircine trichophytique, (Mansjoer Arif, 2000).
Menurut (Mansjoer Arif, 2000) Tinea corporis atau tinea korporis memiliki beberapa nama lain, yaitu:
1)      Tinea sirsinata
2)      Tinea glabrosa
3)      Scherende Flechte
4)      Herpes sircine trichophytique
5)      Kadas
6)      Kurap

Gambar : 2.4 Tinea Korporis

b.      Etiologi
Menurut Mansjoer Arief (2000), Etiologi dari tinea korporis antara lain :
1)      Trichophyton rubrum
2)      Trichophyton mentagrophytes
3)      Trichophyton tonsurans
4)      Trichophyton interdigitale
5)      Trichophyton verrucosum
6)      Microsporum canis
7)      Microsporum gypseum
Penyebab tersering Tinea Korporis adalah Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes.Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Walaupun semua dermatofita bisa menyebabkan tinea corporis, penyebab yang paling umum adalah T. rubrum, T. mentagrophytes, T. canis dan T. tonsurans.
c.       Manifestasi klinis
Menurut Mansjoer Arif (2000), manifestasi klinis dari tinea korporis sebagai berikut :
1)      Tinea corporis ditandai dengan bercak berbagai bentuk. Terbanyak adalah bentuk annular, bulat (seperti cincin) dan lonjong (sirkuler). Masing-masing bercak dapat bergabung membantuk bercak yang lebih luas. Bercak berbatas tegas dengan bagian tepi relatif lebih aktif dan lebih jelas dibanding bagian tengah. Karena terjadinya klonfuensi beberapa lesi, pinggir lesi polisiklik dan agak meninggi. Daerah tengah biasanya lebih tenang. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Bila menahun tanda-tanda aktif menghilang, tampak hiperpigmentasi, skuama dan likenifikasi.
2)      Tinea imbrikata (tokelau) mulai dengan papul berwarna coklat, perlahan-lahan membesar. Stratum korneum bagian tengah terlepas dari dasar dan melebar. Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah sehingga membentuk lingkaran-lingkaran skuama yang konsetris. Bila dengan jari tangan kita meraba dari bagian tengah ke arah luar, akan teraba jelas skuama yang menghadap kedalam. Lingkaran-lingkaran skuama konsentris bila menjadi besar dapat bertemu dengan lingkaran-lingkaran disebelahnya sehingga membentuk pinggir yang polisiklik. Pada permulaan infeksi pasien merasakan sangat gatal, tapi bila menahun tidak ada keluhan. Pada kasus menahun, lesi kulit kadang-kadang dapat menyerupai iktiosis. Kulit kepala pasien dapat terserang, akan tetapi rambut biasanya tidak.
3)      Tinea favosa atau favus. Biasanya dimulai di kepala sebagai titik kecil dibawah kulit yang berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta berbentuk cawan (skutula) dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya ditembus oleh satu atau dua rambut dan bila krusta diangkat terlihat dasar yang cekung merah dan membasah. Rambut kemudian tidak berkilat lagi dan akhirnya terlepas. Bila tidak di obati, penyakit ini meluas keseluruh kepala dan meninggalkan jaringan parut dan botak. Berlainan dengan tinea korporis,yang disebabkan oleh jamur lain, favus tidak menyembuh pada usia akil baligh biasanya dapat tercium bau tikus (mousy odor) pada kulit dapat sebagai kelainan papulo vesikel dan papulo skuomosa, disertai kelainan berbentuk cawan yang khas kemudian menjadi jaringan parut.Bentuk lebih berat dapat berupa granuloma (granuloma majochi), dapat terjadi pada gangguan fungsi imun lokal atau sistemik. Granuloma dapat kecil hanya di sekitar folikel rambut tapi dapat meluas dan membentuk vegetasi. Dapat terjadi pada wnita yang biasanya mencukur rambut kaki.

d.      Penatalaksanaan
MenurutMansjoer Arif (2000), Pada tinea korporis dengan lesi terbatan cukup diberi obat topikal. Lama pengobatan bervariasi antara 1 sampai dengan 4 minggu bergantung jenis obat. Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal diperlukan pada tinea glabrosa yang luas atau kronik rekurens.
Pada keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal bera, kombinasi antimikotik dengan kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat perbaikan klinis dan mengurangi keluhan.pasien.
1)      Obat topikal
Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat topikal di pengaruhi oleh mekanisme kerja, viskositas, hidrokobitas dan asiditas formulasi obat tersebut.
Selain obat-obat klasik, obat-obat derivat imidazol dan alilamin dapat digunakan untuk mengatasi masalah tinea korporis ini. Efektivitas obat yang termasuk golongan imidazol kurang lebih sama. Pemberian obat dianjurkan selama 3 sampai 4 minggu atau hasil kultur negatif. Dianjurkan juga meneruskan pengobatan selama 7 sampai 10 hari setelah penyembuhan klinis dan mikologis.dengan maksud mengurangi kekambuhan.
2)      Obat sistemik
a)      Griseofulvin. Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-25 mg/kgBB sehari. Lama pemberian griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4 minggu, diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan.
b)      Ketokonazol. Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik, termasuk golongan imidazol. Dosisnya 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan
c)      Flukonazol. Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.
d)     Itrakonazol. Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas, bersifat fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun jamur dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat diminum bersama dengan makanan.
e.       Prognosis
Bergantung pada etiologi, faktor prdisposisi dan status imun pasien. Tinea korporis dapat sembuh sendiri dalam beberapa bulan.

3.      Tinea Pedis
a.       Definisi
Tinea pedis adalah infeksi dermatofit pada kaki, terutama di sela jari dan telapak kaki terutama yang memakai kaus dan sepatu yang tertutup. Keadaan lembab dan panas merangsang pertumbuhan jamur. Tinea mannum adalah dermatofitosis pada tangan. Semua bentuk di kaki dapat terjadi di tangan. (Mansjoer Arief, 2000)
Tinea pedis merupakan penyakit akibat jamur yang menyelip di sela-sela jari dan telapak kaki paling banyak di temui. Kutu air mempunyai sinonim antara lain Tinea pedis, Athlete’s foot, ringworn of the foot, kutu air, paling sering bercokol di antara ke-4 dan ke-5 yang kerap meluas ke bawah jari dan sela jari-jari lain
Gambar : 2. 5 Tinea Pedis
( Sumber : qapredbook qappublications)

b.      Etiologi
Penyebab dari tinea pedis ialah epidermophyton, trichophyton,microsporum langsung atau tak langsung. Dapat terjadi pada semua umur, lebih banyak terjadi yang hidup didaerah tropis. Udara lembab memeperburuk keadaan, juga sepatu yang sempit sering mempermudah infeksi, (Siregar, 1991).
Penyebab yang tersering yaitu T. Rubrum. Selain itu T. Mentagrophytes dan E. Floccosum (Mansjoer Arief, 2000).



c.       Manifestasi klinis
Secara umum, gejala yang di timbulkan menurut:.(Siregar, 2000) yaitu :
1)      Tipe papulo-skuamosa hiperkeratotik kronik
Jarang didapati vesikel dan pustule, sering pada tumit dan tepi kaki dan kadang-kadang sampai ke punggung kaki. Eritema dan plak hiperkeratotik diatas daerah lesi yang mengalami likenifikasi. Biasanya simetris, jarang dikeluhkan dan kadang-kadang tak begitu dihiraukan oleh penderita.
2)      Tipe intertiginosa kronik
Manifestasi klnis berupa fisura pada jari-jari, sering pada sela jari kaki ke-4 dan 5, basah dan maseri disertai bau yang tak enak.
3)      Tipe subakut
Lesi intertrignosa berupa vesikel atau pustula. Dapat sampai ke punggung kaki dan tumit dengan eksudat yang jernih, kecuali bila mengalami infeksi skunder. Proses subakut dapat diikuti dengan selulitis, limfangitis, limpadenitis, dan erysipelas.
4)      Tipe akut
Gambaran lesi akut, eritema, edema, berbau. Lebih sering menyerang pria. Kondisi hiperhidrosis dan maserasi pada kaki, statis vasukar, dan bentuk sepatu yang kurang baik terutama merupakan predisposisi untuk mengalami infeksi.
Tinea pedis yang tersering adalah bentuk interdigitalis. Di antara jari IV dan jari V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis, dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan telapak kaki. Kelainan pada kulit berupa kelompok vesikel. Sering terjadi maserasi pada sela jari terutama sisi lateral berupa kulit putih dan rapuh, berfisura dan sering di sertai bau. Bila kulit yang mati di bersihkan, akan terlihat kulit baru yang pada umumnya telah di serang jamur. Bentuk klinis ini dapat berlangsuung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa keluhan. Pada suatu ketika dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis, limfadenitis dan erisipelas, dengan gejala-gejala konstitusi. (Mansjoer Arief, 2000).

d.      Pengobatan
Menurut Menurut Mansjoer Arif (2000), Pengobatan pada Tinea Pedis dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1)      Pengobatan non farmakologi
Penyakit Tinea pedis sering kambuh sehingga untuk menghindari faktor risiko seperti kaus kaki yang digunakan, hendaknya dapat menyerap keringat dan diganti tiap hari. Kaki harus bersih dan kering. Hindari memakai sepatu tertutup, sepatu sempit, sepatu olah raga, dan sepatu plastik, terutama yang digunakan sepanjang hari. Tidak bertelanjang kaki atau selalu memakai sandal sehingga dapat menghindari kontak dengan jamur penyebab Tinea pedis.Kaki dan sela jari kaki dijaga agar selalu kering, terutama sesudah mandi dapat diberikan bedak dengan atau tanpa anti jamur. Penggunaan bedak anti jamur juga dapat ditaburkan dalam sepatu dan kaus kaki agar dapat mengurangi pertumbuhan jamur. Selain itu tindakan nonfarmakologi lain yang dapat dilakukan adalah pencucian kaki setiap hari diikuti dengan pengeringan yang baik di daerah sela jari. Untuk mencegah penularan juga harus selalu memakai sepatu jika kefasilitas umum seperti wc umum, kolam renang.
2)      Pengobatan farmakologi
Obat-obat anti-jamur dapat diberikan secara topikal (dioles), ada pula yang tersedia dalam bentuk oral (obat minum). Jenis obat luar (salep) seringkali digunakan jika lesi kulit tidak terlalu luas. Salep harus dioleskan pada kulit yang  telah bersih, setelah mandi atau sebelum tidur selama dua minggu, meskipun lesinya telah hilang.
Menghentikan pengobatan dengan salep dapat menimbulkan kekambuhan. Karena jamur belum terbasmi dengan tuntas. Jika prosesnya cukup luas, selain obat topical.

3)      Obat topical
Bila lesi basah, maka sebaiknya direndam dalam larutan kalium permanganate1/5000 atau larutan asam aetat 0,25% selama 30-50 menit, 2-4 kali sehari. Atap vesikel dan bula dipecahkan untuk mengurangi keluhan. Bila peradangan hebat dikombinasikan dengan obat antibiotic sistemik. Bila peradangan sudah berkurang, diberikan obat topical antijamur berspektum luas antara lain, haloprogin, klotrimazol, mikonazol, bifonazol, atau ketokonazol. Pada tinea pedis tipe papuloskuamosa dengan hyperkeratosis, obat anti jamur topical sukar menembus kulit, (Mansjoer Arief, 2000).
4)      Obat sistemik
Biasanya tidak digunakan. Namun, bila digunakan harus dikombinasikan dengan obat-obatan anti jamur topical. Obat-obat sistemik tersebut antara lain grisefulvin, ketokonazol, itrakonazol dan terbinafin. (Mansjoer Arief, 2000).

e.       Prognosis
Penyakit mudah untuk ditangani, harus dengan penanganan yang tepat, dan dengan kunci kelembaban kaki harus dijaga tetap kering.Infeksi kronik tidak jarang terjadi jika penyebabnya adalah Trichophyton rubrum. Persistensis dan eksaserbasi akan sering terdapat bila terdapat  infeksi subklinis Trichophyton mentagrophytes varian interdigitale.(Mansjoer Arief, 2000).







4.      Tinea Ungium
a.       Defenisi
Tinea Ungium ( ringworm of the nail ) adalah kelainan lempeng kuku yang disebabkan invasi/infeksi jamur dermatofit. Sedangkan onikomikosis dalah invasi/infeksi kuku oleh jamur yang termasuk dermatofit, kandida dan kapang yang lain, (Mansjoer Arief, 2000).
           
Gambar : 2. 6 Tinea Ungium
 ( Sumber : neton_line.com )
b.      Etiologi
Penyebab tersering adalah trichophyton rubrum, diikuti oleh trichophyton mentagrophytes varianinterdigitable, dan epidermophyton floccosum. T . rubrum tersering ditemuka pada kuku tangan, sedangkan T. Mentagrophytesterutama pada kuku kaki, (Mansjoer Arief, 2000).

c.       Manifestasi Klinis
Menurut Mansjoer Arif (2000), Manifestasi klinis yang dapat terjadi pada Tinea Ungium antara lain :
1)      Bentuk subungual distalis.Bentuk ini paling sering ditemukan dan mulai berkembang pada stratum korneum hiponikium pada batas distal lempeng kuku. Selanjutnya infeksi berjalan kearah yang paling dekat dengan alas kuku dan menyerang permukaan ventral lempeng kuku dengan perjalanan kronik. Pada kuku bagian distal tampak bercak putih atau kuning. Diikuti dengan hiperkeratosis subungual dengan masa kuning keabuan yang menyebabkan permukaan bebas kuku terangkat. Lesi meluas kematrik kuku sehingga terjadi penebalan regio subungual. Lebih lanjut dapat terjadi onikolosis.
2)      Bentuk lateralis.Penyakit ini mulai dengan perubahan bagian alur lateral kuku menjadi kuning. Lesi meluas kebagian distal atau proksimal kuku. Kemudian terjadi paronikia (peradangan jaringan sekitar kuku).
3)      Leukonikia trikofita atau leukonikia mikotika. Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonikia atau keputihan dipermukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen jamur. Biasanya didapatkan pada kuku kaki, berupa bercak putih superfisialis dan berbatas tegas.
4)      Bentuk subungal proksimalis.Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang kuku dan membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku dibagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak.
5)      Bentuk distrofi kuku total.Bentuk ini merupakan keadaan lanjut dari bentuk klinis di atas. Pada bentuk ini kerusakan terjadi pada seluruh lempeng kuku.

d.      Penatalaksanaan
Pengobatan dapat secara topikal atau sistemik, tetapi umumnya pengobatan topikal tidak efektif. Pengobatan topikal dapat diberikan bila hanya 1-2 kuku yang terkena dan tidak sampai menyerang matriks kuku.
Menurut Mansjoer Arif (2000), beberapa pengobatan topikal dapat digunakan :
1)      Cara klasik mengunakan obat antidermatofil topikal dan sedapat mungkin menghilangkan bagian yang rusak misalnya dengan pengikiran atau kuretase kuku. Obat antidermatofit yang dapat dipakai antara lain golongan ozol, haloprogin, siklopiroksilamin, dan alilamin. Solusio glutaraldehid 10% dan krim tiabendazol 10% dengan bebat oklusif juga dapat digunakan.
2)      Avulsi (pengangkatan) kuku yang diikuti pemberian obat antidermatofit topikal. Avulsi kuku dapat dilakukan dengan bedah skapel atau bedah kimia, misalnya dengan  menggunakan urea. Sediaan kombinasi urea 40% dan bifonazol yang terdapat dibeberapa negara juga dapat dipakai untuk cara ini.
3)      Obat topikal lain antara lain cat kuku berisi siklopiroksolamin 5% dan cat kuku berisi amorofilin 5%.
Untuk pengobatan sistemik dapat dipakai :
a)      Griseofulvin 0,5-1 gram/hari. Untuk infeksi kuku tangan dibutuhkan pengobatan rata-rata 4-6 bulan, sedangkan untuk kuku kaki 8-18 bulan. Tetapi keberhasilan pengobatan ini rendah dan rekuransi tinggi.
b)      Trisazol. Semua dianjurkan penggunaan dosis 200 mg/hari selama 3 bulan pada infeksi kuku kaki. Akhir-akhir ini penggunaan terapi pulse 400 mg/hari selama seminggu tiap bulan memberi hasil baik dalam 3 bulan.
c)      Terbinafin. Dosis 250 mg/hari selama 1,5 bulan pada infeksi kuku tangan dan selama 3 bulan pada kuku kaki.
Kombinasi pengobatan sistemik dan topikal dapat meningkatkan angka kesembuhan selain mengurangi masa penggunaan obat sistemik, misalnya pada kombinasi griseofulvin dengan amorolfin cat kuku serta kombinasi griseofulvin dengan solusi tiokonazol.

e.       Prognosis
Tinea ungium adalah dermatofitosis yang paling sukar dan lama disembuhkan; kelainan pada kuku kaki lebih sukar disembuhkan dari pada kuku tangan, (Mansjoer Arif 2000).


5.      Tinea Kapitis
a.       Defenisi
Tinea kapitis (ringworm of the scalp) adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala,alis, dan bulu mata, (Mansjoer Arif 2000).
Gambar :2. 7 Tinea Kapitis
( Sumber : healthhype.com )

b.      Etiologi
Tinea kapitis disebabkan oleh beberapa spesies Trvchophyton dan Microsporum. Di Indo­nesia penyebab terbanyak adalah M. canis dan T tonsurans, (Mansjoer Arif 2000).

c.       Manifestasi Klinis
Menurut (Mansjoer Arif 2000), manifestasi klinis yang dapat terjadi pada Tinea Kapitis sebagai berikut :
Gambaran klinis bervariasi dari lesi yang hanya berupa skuama ringan sampai berupa alopesia luas. Kelainan dapat pula berupa lesi supuratif dengan proses peradangan berat yang disebut kerion. Secara lebih rinci masing-masing spesies penyebab dapat menimbulkan gejala klinis yang berbeda.
1)      Black dot ringwornn adalah rambut terkena peradangan pada muara folikel dan patch meninggalkan bintik-bintik hitam pada alopesia yang penuh spora. Awal hanya 2 atau 3 helai rambut, tidak semua rambut terkena. Lesi dapat multipel dan tersebar di seluruh kulit kepala. Diameter lesi ini mencapai 0,5 — 1 cm. Umumnya tidak berbatas tegas. Bentuk ini disebabkan T tonsurans. T violoceuni atau,T. soudonense.

2)      Kerion adalah reaksi peradangan akut yang berat berupa pembengkakan menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang padat di sekitarnya dan disertai pembesaran kelenjar getah bening regional. Pada pemeriksaan teraba pembengkakan, nyeri dan pus keluar dari folikel. Kerion dapat menimbulkan alopesia permanen dan Jarm-an parut. M. canis, T inentagrophyters, T tonsurans, M. gypseum, atau T verrucosum dapat menyebabkan kelainan ini. Penderita yang berisiko tinggi adalah sosioekonomi rendah.
Penyakit ini menular, meskipun cara penularannya masih diperdebatkan. Anak-anak sering tertular dari temannya dan penularan dapat juga terjadi pada satu keluarga. Penyebab dapat diisolasi dari sisir, sikat, kursi, topi dan alas-alas pencukur rambut. Mula-mula jamur tersebut mengadakan kolonisasi pada permukaan kulit lalu terjadi reaksi peradangan bergantung pada hospes, genera/spesies jamur penyebab dan lokasi lesi. Organisms tersebut bertahan bertahun-tahun pada tubuh pasien, sehingga orang tersebut menjadi karier. Ketegangan atau trauma dapat menimbulkan eksaserbasi.

d.      Penatalaksanaan
Menurut (Mansjoer Arif 2000), Penatalaksanaan yang dapat terjadi pada Tinea Kapitis sebagai berikut :
Perlu diperhatikan faktor predisposisi, faktor sumber penularan, faktor pasien, dan faktor obat. Mengingat lokasi jamur dalam folikel rambut, maka diberikan obat oral, kecuali bila tidak ada kontraindikasi. Untuk mencegah penyebaran spora, berikan obat topikal berupa sampo. Sebagai sampo dapat digunakan selenium sulfida, sampo povidone iodine atau sampo yang mengandung derivat azol.Pemberian 2 kali seminggu dapat mencegah penularan dan perluasan infeksi serta bermanfaat mempercepat kultur negatif.
Pengobatan sistemik dengan griseofulvin micronize dengan dosis yang direkomendasikan. Lama pemberian 6-8 minggu. Pengobatan sistemik juga dapat menggunakan ketokonazol atau itrakonazol. Dosis ketokonazol 200 mg/hari dengan lama pemberian 4-6 minggu. Dosis itrakonazol 100 mg/hari dengan lama pemberian 5 minggu. Obat oral lain yang dilaporkan efektif adalah derivat alilamin (terbinafin). Dosis berkisar 62,5 -250 mg/hari tergantung berat badan pasien.
Kortikosteroid oral dapat dipertimbangkan pengunaannya dalam keadaan-keadaan tertentu, untuk menghindari reaksi 'id' dan mengurangi peradangan. Penggunaan kortikosteroid oral misalnya pada bentuk kerion dapat diberikan prednisolon 20 mg/hari digunakan jangka pendek (selama + 5 hari) untuk mengurangi gejala inflamasi dan sisa alopesia.

e.       Prognosis
Infeksi jamur  yang ringan dapat sembuh spontan. Reaksi peradangan yang hebat lebih mudah sembuh terutama yang disebabkan species zoofilik. Infeksi ektotriks kadang-kadang dapat sembuh tanpa pengobatan. Infeksi endotriks dapat berjalan kronis dan berlangsung sampai dewasa, (Mansjoer Arif 2000).



                        BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A.      Pengkajian Keperawatan
Anemnesis dilakukan untuk mengklasifikasikan suatu pemahaman sehingga perlu ada kesepakatan antara pemeriksa dan pasien. Wawancara harus efektif dan harus memahami perasaan pasien sehingga pasien lebih terbuka. Dibawah ini adalah wawancara pada pasien gangguan sistem integumen, sebagai data fokus.
1.      Biodata
2.      Keluhan utama
3.      Riwayat penyakit sekarang
a.       Kapan pasien pertama kali mengetahui masalah penyakit kulit ini (demikian pula selidikidurasi dan intensitasnya)?
b.      Apa ada gejala yang lain?
c.       Pada kulit bagian mana tempat pertama kali terkena?
d.      Apakah terdapat rasa gatal, terbakar, kesemutan atau seperti ada yang merayap?
e.       Apakah ada gangguan kemampuan untuk merasa?
f.       Apakah masalah tersebut menjadi bertambah parah pada waktu atau musim tertentu.
g.      Apakah pasien dapat menjelaskan bagaimana kelainan tersebut berawal
h.      Apakah erupsi kulit tersebut muncul sesudah makan-makanan tertentu?
i.        Obat-obatan apa yang anda gunakan?
j.        Obat oles (krim, salep, lotion) apa yang anda gunakan untuk mengobati lesi tersebut(termasuk obat-obat yang dapat dibeli bebas di toko obat)?
k.      Produk kosmetik atau preparat perawatan kulit apa yang anda gunakan?
l.        Apakah pada lingkungan disekitar anda terdapat faktor-faktor (tanaman, hewan, zat-zatkimia, infeksi) yang dapat mencetuskan masalah penyakit kulit ini?
m.    Apakah ada sesuatu yang baru atau perubahan apapun dalam lingkungan tersebut?
4.      Riwayat penyakit dahulu
Apakah masalah penyakit kulit yang dideritanya pernah terjadi sebelumnya?
5.      Riwayat penyakit keluarga
Apakah pasien memiliki riwayat hay fever, asma, biduran, eczema atau alergi?Apakah ada diantara anggota keluarga anda yang mengalami masalah kulit?
6.      Riwayat psikososial
7.      Kebiasaan sehari-hari
8.      Pemeriksaan fisik
a.       Inspeksi
Pasien berada dalam ruangan yang terang dan hangat, pemeriksa menggunakan penlight untuk menyinari lesi sehingga pemeriksa akan melihat apakah keadaan kulit pasien, meliputi
1)      Warna kulit
2)      Kelembaban kulit
3)      Tekstur kulit
4)      Lesi
5)      Mobilitas kondisi rambut serta kuku
6)      Turgor
b.      Palpasi
Dalam melakukan tindakan ini pemeriksa harus menggunakan sarung tangan, guna melindungi dari terpaparnya penyakit pasien. Tindakan ini dimaksudkanuntuk memeriksa:
1)      Turgor kulit
2)      Elastisitas kulit
3)      suhu kulit

B.       Diagnosa keperawatan
1.      Gangguan konsep diri (body image) b.d perubahan penampilan fisik
2.      Kerusakan integritas kulit b.d lesi akibat efek dari garuk
3.      Gangguan pola tidur / istirahat b.d gatal/pruritus
4.      nyeri b.d lesi

C.      Intervensi Keperawatan
1.      Gangguan konsep diri (body image) b.d perubahan penampilan fisik.
a.       Hasil yang diharapkan :
·         Klien menilai keadaan dirinya terhadap hal-hal yang realistik tanpa menyimpang.
·         Dapat menyatakan dan menunjukkan peningkatan konsep diri.
·         Dapat menunjukkan adaptasi yang baik dan menguasai kemampuan diri.
b.      Rencana Keperawatan
·         Bina hubungan saling percaya antara perawat-klien.
R : Agar klien dapat mengekspresikan dan dapat mempercayai perawat.
·         Dorong klien untuk menyatakan perasannya, terutama cara ia merasakan sesuatu, berpikir, atau memandang dirinya sendiri.
R : Agar klien dapat mengekspresikan perasaan yang dirasakan.
·         Dorong klien untuk mengajukan pertanyaan mengenai masalah kesehatan, pengobatan, dan kemajuan pengobatan dan kemungkinan hasilnya.
R : Untuk mengevaluasi atas tindakan yang telah diberikan.
·         Beri informasi yang dapat dipercaya dan menguatkan informasi yang telah diberikan.
R : Agar klien yakin dan percaya atas keadaannya.
·         Jernihkan kesalahan persepsi individu tentang dirinya, mengenai perawatan dirinya.
R : Agar klien merasa percaya diri dengan kondisi yang dialaminya.
·         Hindari kata-kata yang mengecam dan memojokkan klien
R : Agar klien tidak putus atas atas kondisi yang dialaminya.
·         Lindungi privasi dan jamin lingkungan yang kondusif.
R : Agar klien dapat [ercaya dan yakin dengan perawat.
·         Kaji kembali tanda dan gejala gangguan harga diri, gangguan citra tubuh, dan perubahan penampilan peran.
R : Untuk mengetahui kondisi atau perubahan yang terjadi pada klien.
·         Beri penjelasan dan penyuluhan tentang konsep diri yang positif.
R : Agar klien memahami tentang konsep diri klien

2.      Kerusakan integritas kulit b.d lesi akibat efek dari garukan
a.    Hasil yang diharapkan :
·       Area terbebas dari infeksi lanjut.
·       Kulit bersih, kering, dan lembab
b.      Rencana keperawatan:
·         Kaji keadaan kulit
R : Untuk mengetahui kondisi dan keadan umum klien.
·         Kaji perubahan warna kulit
R : Untuk mengetahui perubahan kulit yang dialami klien.
·         Pertahankan agar area luka tetap bersih dan kering
R : Untuk mencegah terjadinya infeksi
·         Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi
R : Agar terapi dan pengobatan dapat memberi perubahan pada kondisi yang dialami klien.
·         Anjurkan klien untuk memakai pakaian ( baju, celana, dalam, kaus kaki) yang mudah menyerap keringat
R : Untuk memodifikasi lingkungan untuk mempercepat proses penyembuhan klien.
3.      Gangguan pola tidur / istirahat b.d gatal/pruritus
a.       Hasil yang diharapkan:
·         Klien dapat menjelaskan faktor-faktor penghambat atau pencegah tidur.
·         Klien dapat mengidentifikasi tehnik untuk mempermudah tidur.
b.      Rencana keperawatan
·         Identifikasi faktor-faktor penyebab tidak bisa tidur  dan penunjang keberhasilan tidur.
R : Untuk mengetahui penyebab klien tidak bisa tidur.
·         Beri penjelasan pada klien dan keluarga penyebab gangguan pola tidur.
R : Agar klien mengerti dengan pola tidur klien.
·         Atur prosedur tindakan medis atau keperawatan untuk memberi sedikit mungkin gangguan selama periode tidur (misalnyaketika individu bangun untuk makan obat, pada saat pengukuran tanda-tanda vital).
R : Agar klien mengerti tentang tindakan yang diberikan selama priode tidur.
·         Anjurkan klien mandi air hangat sebelum tidur dan mengoleskan obat salep (sesuai terapi) pada daerah lesi.
R : Agar perkembangan jamur terhenti
·         Kolaborasikan dengan tim medis dalam pemberian antihistamin/antigatal.
R : Untuk membantu proses penyembuhan.



BAB IV
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Klasifikasi Tinea
Etiologi
Manifestasi Klinis
Tempat terjadinya
penatalaksanaan
Tinea Kruris

*    Trichophyto
*    verruccosum (ternak)
*    M.cani (anjing), M.audouini
*    Gatal
*    Pada lipatan paha terdapat warna coklat kemerahan.
*    Terasa panas
*   Perih

Lipatan paha.
·   Obat topikal
1. Derivat imidazol.
2. Derivat alilamin
·   Obat sistemik
1.Griseofulvin
2.itrakonazol
3.flukonazol
4.terbinafin
5.ketokonazol
Tinea kapitis
Spesies Trichophyton dan Microsporum.
Di indonesia terbanyak oleh M. Canis dan T. tonsurans
v Skuama ringan dan alopesia luas.
v Lesi suportif
v Kerion
Kulit kepala.
Obat topikal:
Sampo povidone iodine
Pengobatan sistemik:
1. griseofulvin micronize
2. ketokonazol
3. terbinafin
4.kortikosteroid (bentuk kerion)
Tinea pedis
penyebab dari tinea pedis ialah epidermophyton, trichophyton, microsporum langsung atau tak langsung.
ü Tipe papulo-skuamosa hiperkeratotikkronik:
    Eritema dan plak.
ü Tipe intertiginosa kronik:
Manifestasi klinis berupa fisura pada jari-jari dan  bau yang tak enak.
ü Tipe subakut:
Lesi intertrignosa: Berupa vesikel atau pustula.
ü Tipe akut:
Gambaran lesi akut: Eritema, edema, berbau.
Di sela-sela jari dan telapak kaki paling banyak di temui.
1.Non farmakologi:
*        Gunakan kaos kaki yang menyerap keringat dan diganti tiap hari,
*        Kaki harus bersih dan kering.
*        Hindari memakai sepatu tertutup, sepatu sempit, sepatu olah raga, dan sepatu plastik, terutama yang digunakan sepanjang hari.
2. Farmakologi
Salep anti jamur.
3. obat topical
Direndam dengan larutan kalium permanganat atau larutan asam asetat.

Tinea korporis
v Trichophyton rubrum
v Trichophyton mentagrophyte
v Trichophyton tonsurans
v Trichophyton interdigitale
v Trichophyton verrucosum
v Microsporum canis
v Microsporum gypseum
Tinea corporis ditandai dengan:
1. bercak berbagai bentuk. Terbanyak adalah bentuk annular (seperti cincin) dan iris (sirkuler)
2. klonfuensi beberapa Lesi, pinggir lesi polisiklik dan agak meninggi. Daerah tengah lebih tenang.


Mengenai badan
1.obat topikal
a. derivat imidazol
    b.lilamin
2.obat sistemik
     a.Griseofulvin
     b.itrakonazol
   c.flukonazol
      d.ketokonazol
Tinea ungium
Jamur T. mentagrophytes varianinterdigitable, T. Rubrum,dan epidermophyton.
1. Bentuk subungual distalis.
a.Tampak bercak putih atau kuning.
b.Hiperkeratosis subungual dengan masa kuninh keabuan.
2. Bentuk  lateralis:
Terjadi paronikia
3.Leukonikia trikofita atau leukonikia mikofita:
Keputihandi permukaan kuku yang dapat dikerok untuk membuktikan adanya elemen jamur.
4.Bentuk subungual proksimal:
Pada bentuk ini, kuku bagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak.
5. Bentuk distrofi kuku total:
Kerusakan terjadi pada seluruh lempengan kuku.

Kuku
1.Obat topikal:
a. golongan azol,haloprogin, siklopiroksilamin, dan alilamin.
2. avulasi(pengangkatan kuku)
3.Obat Sistemik ;
a. gliseofulvin
b. terbinafin
c. Imidazol

B.     Saran
1.      Perawat diharapkan lebih mengetahui dan memahami tentang mekanisme infeksi mikotik dan konsep dasar penyakit, sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat.
2.      Masyarakat dapat mengetahui dan memahami gejala-gejala serta penyebab Tinea.
3.      Pelayanan kesehatan dapat melayani dan menangani klien yang mengalami Tineadengan baik.
4.      Mahasiswa dapat mempelajari mekanisme infeksi mikotik dan membantu dalam proses memahami pembelajaran dan mengetahui  konsep dasar penyakit tinea, sehingga mahasiswa dapat melakukan asuhan keperawatan yang tepat pada klien.


















DAFTAR PUSTAKA


Chin, James, MD, MPH. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular.
Djuanda A. 1993. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi 2. Jakarta : Fakultas kedokteran UI.S
Masjoer, Arief. 2000. Kapita selekta kedokteran. Jakarta : media aesculapius
Natadidjaja, Hendarto. 1990. kepita selekta kedokteran. jakarta ; Binarupa Aksara.
NANDA.2011. Diagnosa Keperawatan : Defenisi dan Klasifikasi. Jakarta : EGC.
Siregar, SP,KK(K). 2005. Penyakit jamur kulit edisi 2. Jakarta ;     EGC.
----------------------------------------.1991. Saripati Penyakit kulit. Jakarta ; EGC.
Wisnu, I Made, dkk. 2005. Penyakit Kulit yang Umum diIndonesia.Jakarta; PT Medical multi Media.
Dr. Moh. Ifnudin. Spkk. Artikel Kesehatan Imunologi  Dermatofitosis.