BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lapisan epidermis kulit orang dewasa mempunyai tiga jenis sel utama: keratinosit, melanosit dan sel Langerhans. Keratinisasi adalah suatu proses diferensiasi sel epitel yang dilakukan untuk meningkatkan ketebalan epitel dengan cara migrasi sel dari lapisan basal, lapisan spinosa, lapisan granulosum sampai ke lapisan keratin. Lapisan keratin merupakan terminal diferensiasi dengan sel-sel pipih pengusung keratin yang berwarna gelap dengan pewarnaan eosin dan akan mengalami pelepasan dari lapisan permukaan (Major dan Fejerskov, 1991).
Proses Keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid, bermitosis ke atas berubah bentuk lebih poligonal yaitu sel spinosum, terangkat lebih ke atas menjadi lebih gepeng, dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat ke atas lebih gepeng, dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan akhirnya sampai di permukaan kulit menjadi sel yang mati, protoplasmanya mengering menjadi keras, gepeng, tanpa inti yang disebut sel tanduk, sel tanduk secara kontinu lepas dari permukaan kulit dan diganti oleh sel yang terletak di bawahnya. Proses keratinisasi sel dari sel basal sampai sel tanduk berlangsung selama 14-21 hari. Proses ini berlangsung terus-menerus dan berguna untuk fungsi rehabilitasi kulit agar selalu dapat melaksanakan fungsinya secara baik. Pada beberapa macam penyakit kulit proses ini terganggu, sehingga kulit akan terlihat bersisik, tebal, dan kering ( Syaifuddin, 2006).
Adapun hal yang dapat menyebabkan kegagalan dalam fungsi keratinisasi adalah tidak adanya atau kurangnya pembelahan sel keratinosit pada stratum germinativum serta kebalikannya yaitu hiperproliferasi dari sel keratinosit tersebut. Sehingga menyebabkan kegagalan proses keratinisasi serta tidak terbentuknya sel epidermis khususnya sel keratin pada stratum korneum secara normal.
Salah satu penyakit yang dapat disebabkan oleh kegagalan keratinisasi adalah psoriasis. Psoriaris yang secara harfiah berarti keadaan gatal adalah gangguan peradangan hiper proliferatif rekuren yang tidak diketahui sebabnya. Psoriaris sering ditemukan mengenai pada pada satu sampai tiga juta orang di Amerika Serikat. Penyakit paling sering timbul pada orang muda berusia kurang dari 20 tahun, tetapi dapat terjadi pada semua golongan umur. Pria dan wanita terkena dalam jumlah yang sama. Sekitar 30% pasien mempunyai riwayat keluarga Psoriaris. Epidemiologi penyakit ini dapat ditemukan diseluruh dunia dengan angka kesakitan yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Pada bangsa yang berkulit hitam seperti di Afrika jarang ditemukan ( Price & Wilson : 2006 ).
Jika dihitung berdasarkan dari total penduduk, angka kesakitan penyakit ini di Amerika dilaporkan sebesar 1%, Jerman 1,3%, Denmark 1,7%, Inggris 1,7% dan Swedia 2,3%. Sedangkan di Indonesia belum didapatkan data angka insidensi yang jelas untuk penyakit ini. Penyakit ini tampak sebagai plak tebal eritema dan papula – papula yang tertutup oleh sisik yang seperti perak. Plak ini biasanya terdapat di kepala, lutut dan siku ( Price & Wilson : 2006 ).
Psoriasis merupakan penyakit yang diturunkan, meskipun cara penurunan penyakit ini belum dimengerti sepenuhnya. Riwayat keluarga dapat ditemukan pada 66% pasien psoriasis ( Price & Wilson : 2006 ).
Berdasarkan dari data dan fakta mengenai penyakit psoriasis diatas, kelompok tertarik untuk membahas mengenai penyakit ini, yang merupakan sebuah gangguan yang terkait dengan sebuah kegagalan proses keratinisasi, dan kami mengangkatnya dalam sebuah makalah. Penanganan masalah gangguan proses keratinasi : psoriasis ini sangat penting, karena penyakit ini memang tidak mengancam jiwa, namun dapat menurunkan kualitas hidup karena dapat membuat penderitanya menjadi kurang percaya diri bila tidak dirawat dengan baik.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penyusunan Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan sistem integumen : Psoriasis ini adalah untuk membrikan gambaran hingga pemahaman kepada mahasiswa/i tentang konsep gangguan sistem integumen khususnya yang disebabkan oleh kegagalan keratinisasi : psoriasis
2. Tujuan Khusus
Asuhan keperawatan ini disusun sebagai tugas mata kuliah sistem integumen, yang dapat digunakan untuk :
a. Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang mekanisme kegagalan keratinasi pada sistem integumen
b. Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang konsep ppenyakit psoriasis
c. Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang asuhan keperawatan yang dapat diberikan kepada klien dengan gangguan psoriasis
C. Metode penulisan
Metode penulisan dalam penyusunan makalah ini, menggunakan metode deskriftif dengan menggambarkan konsep dasar tentang asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem integumen : psoriasis.
D. Sistematika penulisan
Penyusunan asuhan keperawatan pada klien dengan ansietas ini dilakukan dengan menggunakan metode studi kepustaka, dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari : Latar Belakang, Tujuan, Metodepenulisan dan Sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan Teoritis yang terdiri dari : Mekanisme kegagalan keratinisasi, Konsep dasar penyakit Psoriasis, dan Asuhan keperawatan klien dengan psoriasis secara teoritis.
Bab III : Konsep asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem integumen : Psoriasis.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Anatomi Fisiologi & Keratinisasi Kulit
Pada pembahasan anatomi, fisiologi dan keratinasi kulit ini, yang akan dibahas adalah lapisan – lapisan kulit yang terdiri dari lapisan epidermis, lapisan dermis dan lapisan hipodermis, fungsi dari kulit, serta proses keratinasi kulit.
1. Anatomi Kulit
a. Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis terbentuk dari perubahan sel yang terjadi dari keratinisasi yaitu proses berpindah dari lapisan epidermal terbawah menuju ke permukaan dengan perubahan ukuran dan komposisi kimia (penambahan keratin).
1) Stratum Basalis
Merupakan lapisan terdalam dan tunggal sel kuboid. Aktivitas mitosis tinggi sehingga sel menjadi terkeratinisasi. Tempat produksi keratinosit dan terdapat Melanosit (tak sama tiap ras). Banyak terdapat sel Merkel yang sensitif terhadap sentuhan
2) Stratum Spinosum
Merupakan lapisan yang paling tebal dan dapat mencapai 0,2 mm terdiri dari 8-10 lapisan yang terikat dengan desmosom. Sel-selnya disebut spinosum karena jika dilihat di mikroskop sel-selnya terdiri dari sel yang bentuknya poligonal (banyak sudut) dan mempunyai tanduk (spina). Pembelahan sel-selnya terbatas dan tempat produksi serabut keratin/Keratinosit. Pembentukan benda lamella/ lamellar bodies dan terdapat sel Langerhans sebagai bagian dari sistem imun. Pembelahan sel terjadi di stratum spinosum & stratum basale yang disebut stratum germinativum.
3) Stratum Granulosum
Pada lapisan superficial nukleus dan organella lain berdegenerasi dan mati. Stratum ini hanya terdiri 2-5 lapisan yang berbentuk berlian. Terdapat keratinosit dan produksi keratin dan keratohialin. Dalam sitoplasma terdapat butir-butir yang disebut keratohialin. Startum ini merupakan awal mula sel mati. Terdapat benda lamellar mengeluarkan lemak dari sel.
4) Stratum Lucidum
Lapisan ini sel-selnya sudah banyak yang kehilangan inti dan butir-butir selnya telah menjadi jernih sekali dan tembus sinar. Sehingga lapisan ini merupakan lapisan yang tipis dan transparan. Lapisan ini hanya terdapat pada telapak tangan dan kaki.Tampak jelas pada kulit tipis dan terdiri dari 3-5 lapisal sel jernih. Lapisan ini mengandung Eleidin. Terdapat pada kulit tebal, jarang pada kulit tipis. Pada kulit tebal biasanya pada kulit yg biasa tertekan, 5 lapisan dan banyak lapisan di stratum corneum. Misalnya : palmar, plantar pedis, ujung jari. Kulit tipis terdapat pd sebagian besar tubuh, tiap stratum mengandung sedikit lapisan sel, lekukan kulit sedikit terlihat, lebih fleksibel, dan rambut hanya ditemukan di kulit tipis. Keratohyalin tersebar disekeliling serabut keratin.
5) Stratum Corneum
Merupakan lapisan paling atas dan terdiri dari sel kornifikasi. Terdiri dari 20 lapisan atau lebih sel squamosa yang mati. Lapisan ini menyediakan kekuatan struktur karena adanya keratin antar sel dan juga mencegah hilangnya air karena adanya lemak disekeliling sel. Desquamasi pada sel paling superficial dapat mencegah abrasi.
b. Lapisan Dermis
Merupakan lapisan kedua kulit yang tersusun dari jaringan ikat longgar, kollagen & serabut elastis, pembuluh saraf, serabut elastis, pembuluh darah, serabut otot, sel adiposa, folikel rambut dan kelenjar. Terdiri dari dua lapis :
1) Lapisan papiler
a) Lapisan permukaan terluar
b) 1/5 dermis – jaringan ikat longgar
c) Kaya pembuluh darah & reseptor sensoris
d) Area permukaan menonjol oleh papilla sebagai sidik jari
2) Lapisan Retikuler
a) Jaringan ikat padat tak teratur
b) Kelenjar Sebasea/minyak
c) Folikel rambut
d) Saluran kelenjar sudorifera/keringat
e) Tanda Striae/ stretch (selulit)
f) Corpuskula Meissner & Pacini
c. Lapisan Hipodermis
Melekat pada lapisan retikuler pada organ dibawahnya. Terdiri dari kumpulan-kumpulan sel lemak dan jaringan ikat longgar. Jaringan lemak memiliki tebal yang berbeda-beda di tiap-tiap tempat serta pembagian antara laki-laki dan perempuan tidak sama. Selain itu terdapat pembuluh darah major rete cutaneum. Adiposa berfungsi sebagai shock breaker jika terdapat tekanan trauma mekanis yang menimpa pada kulit, isolator panas atau untuk mempertahankan suhu, penimbun kalori, dan tambahan untuk kecantikan tubuh.
2. Fungsi Kulit
Beberapa fungsi kulit , diantaranya :
a. Proteksi
Kulit berfungsi sebagai alat pelindung bagian dalam, misalnya otot dan tulang. Kulit berfungsi sebagai barier anatomi antara lingkungan luar dan dalam tubuh. Sel Langerhans yang terdapat pada bagian dermis merupakan bagian dari sistem imun adaptif.
Kulit dapat melindungi bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik maupun mekanik, misalnya tekanan, gesekan, tarikan, gangguan kimiawi, seperti zat-zat kimia iritan (lisol, karbol, asam atau basa kuat lainnya), gangguan panas atau dingin, gangguan sinar radiasi atau sinar ultraviolet, gangguan akuman, jamur, bakteri atau virus.
Lapisan epidermis atau lapisan terkematu merupakan lapisan perlindungan daripada kemasukan bakteria, ini merupakan perlindungan tahap pertama. Lapisan berkematu yang senantiasa gugur, menyebabkan bakteria sukar membiak dan bertapak tetap pada kulit.
b. Sensasi/ Persepsi (Penerima Rangsang)
Disebut pula persepsi sensoris. Kulit bertanggung jawab sebagai indera terhadap rangsangan dari luar berupa tekanan, raba, suhu, dan nyeri melalui berbagai reseptor seperti benda Meissner, diskus Merkell dan korpuskulum Golgi sebagai reseptor raba, Korpuskulum Pacini sebagai reseptor tekanan, Korpuskulum Ruffini dan benda Krauss sebagai reseptor suhu dan Nervous End Plate sebagai reseptor nyeri. Rangsangan dari luar diterima oleh reseptor-reseptor tersebut dan diteruskan ke sisitem saraf pusat dan selanjutnya diinterpretasi oleh korteks serebri.
Sehubungan dengan fungsinya sebagai alat peraba, kulit dilengkapi dengan reseptor -reseptor khusus. Reseptor untuk rasa sakit ujungnya menjorok masuk ke daerah epidermis. Reseptor untuk tekanan, ujungnya berada di dermis yang jauh dari epidermis. Reseptor untuk rangsang sentuhan dan panas, ujung reseptornya terletak di dekat epidermis. Terdapat berbagai macam ujung saraf yang bereaksi terhadap panas dan dingin, sentuhan, tekanan, getaran, dan luka. Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Saraf-saraf sensorik tersebut lebih banyak jumlahnya di daerah erotik.
c. Regulasi panas
Disebut juga sebagai thermoregulasi atau pengatur suhu tubuh. Kulit mengatur temperatur tubuh melalui mekanisme dilatasi dan konstriksi pembuluh kapiler dan melalui perspirasi, yang keduanya dipengaruhi syaraf otonom. Ada saat temperatur badan menurun terjadi vasokonstriksi, sedangkan saat temperatur badan meningkat terjadi vasodilatasi untuk meningkatkan pembuangan panas (Retno, 2007). Dilatasi pembuluh darah meningkatkan perfusi dan kehilangan panas, sedangkan konstriksi pembuluh akan mereduksi aliran darah kutan dan menyimpan panas. Kulit melakukan peran ini dengan mengeluarkan keringat dan otot dinding pembuluh darah kulit.
d. Kontrol evaporasi
Sebagai barier yang relatif kering dan kedap terhadap kehilangan cairan. Fungsi ini akan hilang saat terjadi luka bakar dan menyebabkan tubuh kehilangan cairan dalam jumlah besar.
Penguapan dari tubuh merupakan salah satu jalan melepaskan panas. Air berdifusi melalui kulit walaupun tidak berkeringat sehingga penguapan dari permukaan tubuh kita selalu terjadi, disebut inspiration perspiration (berkeringat tidak terasa) atau biasa disebut IWL (Insensible Water Loss).
e. Estetik dan komunikasi
Sebagai indikasi perasaan, kondisi fisik, dan daya tarik individu.
f. Penyimpanan dan pembuatan
Bertindak sebagai tempat penyimpanan utama lemak dan air, serta sintesis vitamin D oleh sinar ultraviolet.
g. Ekskresi
Keringat mengandung urea dengan konsentrasi 1/130 dari urea urin. Kelenjar-kelenjar pada kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna atau sisa metabolisme dalam tubuh. Produk kelenjar lemak dan keringat di permukaan kulit membentuk keasaman kulit pada pH 5 – 6,5.
Kulit merupakan satu dari tujuh saluran ekskresi yang mengandung sekitar 70% air, 25% protein, dan 2% lemak. Kulit membantu organ-organ utama sistem ekskresi, seperti hati, ginjal, dan usus, untuk menyingkirkan sisa-sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh.
Keringat yang keluar membawa panas tubuh, sehingga sangat penting untuk menjaga agar suhu tubuh tetap normal.
h. Absorpsi
Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal, tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban udara, metabolisme dan jenis vehikulum zat yang menempel di kulit. Penyerapan dapat melalui celah antar sel, saluran kelenjar atau saluran keluar rambut.
Beberapa bahan dapat diabsorbsi kulit masuk ke dalam tubuh melalui dua jalur yaitu melalui epidermis dan melalui kelenjar sebasea. Material yang mudah larut dalam lemak lebih mudah diabsorbsi dibandingkan air dan material yang larut dalam air. Oksigen, nitrogen, dan karbon dioksida dapat berdifusi ke dalam epidermis dalam jumlah kecil. Selain itu, sejumlah obat dapat teradministrasi melalui kulit, seperti salep atau adhesive patch.
i. Pembentukan Pigmen
Sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal epidermis. Jumlah melanosit serta jumlah dan besarnya melanin yang terbentuk menetukan warna kulit.
j. Fungsi keratinasi
Proses keratinasi sel dari sel basal sampai sel tanduk berlangsung selama 14 – 21 hari. Proses ini dilakukan agar kulit dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Pada beberapa macam penyakit kulit proses ini terganggu, sehingga kulit akan terlihat bersisik, tebal, kasar dan kering.
k. Produksi vitamin D
Kulit juga dapat membuat vitamin D dari bahan baku 7-dihidroksi kolesterol dengan bantuan sinar matahari. Apabila lapisan kulit ini terdedah kepada sinaran ultraungu, sinaran ultraungu ini akan diserap oleh kulit dan bertindak ke atas prekursor, seterusnya menukarkannya kepada vitamin D.
Vitamin D merupakan kumpulan vitamin yang larut dalam lemak prohormon, 2 bentuk utamanya adalah vitamin D2 (atau ergokalsiferol) dan vitamin D3 (atau kolekalsiferol). Vitamin D juga merujuk pada metabolit dan analogi lain dari bahan ini. Vitamin D3 dihasilkan di dalam kulit yang terdedah kepada cahaya matahari, terutama sinaran UV B.
l. Fungsi ekspresi emosi
Hasil gabungan fungsi yang telah disebut di atas menyebabkan kulit mampu berfungsi sebagai alat untuk menyatakan emosi yang terdapat dalam jiwa manusia.
m. Mencegah dehidrasi
Lapisan berkematu mencegah kehilangan air kepersekitaran. Lapisan ini amat berkesan untuk mencegah kehilangan air.
n. Rangsangan luar
Lapisan kulit atau lapisan dermis yang mempunyai banyak reseptor, membolehkan kulit peka terhadap perubahan persekitaran. Reseptor-reseptor ini boleh mengesan pelbagai rangsang seperti tekanan, suhu, sentuhan dan sebagainya.
o. Menyimpan lemak
Lapisan paling bawah kulit merupakan lapisan lemak subkulitan. Lapisan ini merupakan lapisan yang kaya dengan lemak. Lapisan lemak ini juga merupakan penebat haba.
3. Keratinasi Kulit
a. Pengertian keratinisasi
Keratinisasi merupakan suatu proses pembentukan lapisan keratin dari sel-sel yang membelah. Keratinosit dimulai dari sel basal mengadakan pembelahan, lalu sel basal akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum, makin ke atas sel menjadi makin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Makin lama inti menghilang, mengalami apoptosis dan menjadi sel tanduk yang amorf. Sel-sel yang sudah mengalami keratinisasi akan meluruh dan digantikan dengan sel di bawahnya yang baru saja mengalami keratinisasi untuk kemudian meluruh kembali, begitu seterusnya. Proses ini memakan waktu sekitar empat minggu untuk epidermis dengan ketebalan 0.1 mm. Apabila kulit di lapisan terluar tergerus, seperti pada abrasi atau terbakar, maka sel-sel basal akan membelah lebih cepat. Mekanisme pertumbuhan ini terutama dipengaruhi oleh hormon epidermal growth factor (EPF) (Major dan Fejerskov, 1991).
Keratinisasi adalah suatu proses diferensiasi sel epetile yang dilakukan untuk mengingkatkan ketebalan epitel dengan cara migrasi sel dari lapisan basal, lapisan spinosa, lapisan granulosum sampai ke lapisan keratin. Lapisan keratin merupakan terminal diferensiasi dengan sel-sel pipih mengusung keratin yang berwarna gelap dengan pewarnaan eosin dan akan mengalami pelepasan dari lapisan permukaan (Major dan Fejerskov, 1991).
b. Macam – macam keratinisasi
Di dalam kulit serta apendiksnya terdapat dua macam keratin, yaitu keratin lunak dan keratin keras.
1) Keratin lunak selain terdapat pada folikel rambut juga terdapat di permukaan kulit. Keratin lunak dapat diikuti terjadinya pada epidermis yang dimulai dari stratum granulosum dengan butir-butir keratohyalinnya, kemudian sel-sel menjadi jernih pada stratum lucidum dan selanjutnya menjadi stratum korneum yang dapat dilepaskan.
2) Keratin keras terdapat pada cuticula, cortex rambut dan kuku. Keratin keras dapat diikuti terjadinya mulai dari sel-sel epidermis yang mengalami perubahan sedikit demi sedikit dan akhirnya berubah menjadi keratin keras yang lebih homogen. Keratin keras juga lebih padat dan tidak dilepaskan, serta tidak begitu reaktif dan mengandung lebih banyak sulfur.
c. Fungsi keratinisasi
Lapisan epidermis kulit orang dewasa mempunyai tiga jenis sel utama: keratinosit, melanosit dan sel Langerhans. Keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid, bermitosis ke atas berubah bentuk lebih poligonal yaitu sel spinosum, terangkat lebih ke atas menjadi lebih gepeng, dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat ke atas lebih gepeng, dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan akhirnya sampai di permukaan kulit menjadi sel yang mati, protoplasmanya mengering menjadi keras, gepeng, tanpa inti yang disebut sel tanduk, sel tanduk secara kontinu lepas dari permukaan kulit dan diganti oleh sel yang terletak di bawahnya. Proses keratinisasi sel dari sel basal sampai sel tanduk berlangsung selama 14-21 hari. Proses ini berlangsung terus-menerus dan berguna untuk fungsi rehabilitasi kulit agar selalu dapat melaksanakan fungsinya secara baik. Pada beberapa macam penyakit kulit proses ini terganggu, sehingga kulit akan terlihat bersisik, tebal, dan kering.
d. Kegagalan keratinisasi
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan pada keratinisasi ini. Proses kegagalan ini dapat berupa tidak terjadi atau berkurangnya keratinisasi ataupun produksi berlebih dari sel keratinosit itu sendiri.
Proses keratinisasi diawali dari mitosis atau pembelahan dari sel keratinosit pada stratum germinativum (basal), yang akan berpindah pada sel diatasnya sampai menjadi sel keratin di bagian terluar tubuh. Apabila stratum basal ini tidak lagi bermitosis atau kemampuan sel keratinositnya untuk membelah berkurang, maka dapat menyebabkan tidak terjadinya proses keratinisasi ini dengan baik, sehingga sel-sel pada epidermis menjadi lebih tipis dari lapisan epidermis yang normal, contohnya pada kulit manusia yang sudah berusia lanjut, dimana kemampuan dari sel-sel di tubuhnya telah mengalami penurunan atau defisiensi.
Sel keratinosit pada stratum germinativum juga dapat mengalami kelebihan produksi atau hiperproliferasi yang merupakan manifestasi dari cepatnya proses keratinisasi, normalnya sel keratinosit bermitosis setiap sekitar 14-28 hari, namun pada keadaan abnormal tertentu, pembelahan sel keratinosit tersebut dan pergantiannya dapat menjadi lebih cepat dari biasanya, sehingga menimbulkan kelainan atau kegagalan keratinisasi untuk terbentuknya secara normal anatomi, morfologi, dan fisiologi sesuai dengan fungsinya.
B. KONSEP DASAR PSORIASIS
1. Definisi
Psoriasis merupakan penyakit inflamasi noninfeksius yang kronik pada kulit dimana produksi sel-sel epidermis terjadi dengan kecepatan kurang-lebih enam hingga sembilan kali lebih besar daripada kecepatan yang normal. Sel-sel dalam lapisan basal kulit membagi diri terlalu cepat, dan sel-sel yang baru terbentuk bergerak lebih cepat ke permukaan kulit sehingga tampak sebagai sisik atau plak jaringan epidermis yang profus. (Smeltzer & Bare, 2002).
Psoriasis ialah penyakit yang bersifat kronis dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin dan Auspitz (Mansjoer, 2000).
Psoriasis adalah penyakit kulit kronik dan meradang, psoriasis ditandai oleh percepatan pertukaran sel-sel epidermis sehingga terjadi proliferasi abnormal epidermis. Kulit menunjukkan kemerahan, disertai plak bersisik yang gembung yang dapat menutupi permukaan tubuh. ( Corwin, 2009)
Psoriasis merupakan penyakit yang tampak sebagai plak tebal, eritematosa dan papula – papula yang tertutup oleh sisik seperti perak. Plak ini biasanya terdapat didaerah lutut, siku, dan kulit kepala. Tetapi erupsi kulit ini dapat menyerang bagian tubuh manapun kecuali selaput lendir. ( Price & Wilson, 2006 )
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa psoriasis adalah penyakit kelainan pada kulit yang bersifat kronik dan residif yang penyebab pastinya sampai saat ini masih belum jelas. Penyakit ini ditandai dengan terjadinya pergantian kulit epidermis atau proses keratinisasi yang begitu cepat dari biasanya, sehingga menimbulkan lesi kulit berupa skuama dan plak. Penyakit psoriasis ini tidak mengancam jiwa, namun dapat menurunkan kualitas hidup karena dapat membuat penderitanya menjadi kurang percaya diri bila tidak dirawat dengan baik.
2. Etiologi
Sebagai salah satu penyakit kulit yang paling sering ditemukan, psoriasis menjangkiti kurang-lebih 2% populasi (Camp,1992). Diperkirakan bahwa keadaan ini berasal dari cacat herediter yang menyebabkan over produksi kreatin. Meskipun penyebab primernya tidak diketahui, kombinasi susunan genetik yang spesifik dan rangsangan dari lingkungan dapat memicu terjadinya penyakit tersebut. Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa proliferasi sel diantarai oleh sistem imun. Periode stress emosional dan ansietas turut memperburuk keadaan, sementara trauma, infeksi serta perubahan musim dan hormonal merupakan faktor pemicu. Awitan psoriasis dapat terjadi pada segala usia kendati lebih sering dijumpai diantara usia 10 dan 30 tahun (stiller, 1994). Psoriasis memiliki kecenderungan untuk membaik sendiri dan kemudian muncul kembali secara periodik di sepanjang usia penderitanya (Smeltzer & Bare, 2002).
Etiologi belum diketahui, yang jelas ialah waktu pulih (turn over time) epidermis dipercepat menjadi 3-4 hari, sedangkan pada kulit normal lainnya 27 hari. Pada sebagian pasien terdapat faktor herediter yang bersifat dominan. Faktor fisik dikatakan mempercepat terjadinya residif.
Infeksi fokal mempunyai hubungan erat dengan salah satu bentuk psoriasis, yaitu psoriasis gutata. Hubungannya dengan psoriasis vulgaris tidak jelas. Pernah dilaporkan kasus-kasus psoriasis gutata yang menyembuh setelah dilakukan tonsilektomi. (Mansjoer, 2000)
Walaupun digambarkan sebagai penyakit proliferasi epitel jinak, pada kenyataannya psoriasis disebabkan oleh gangguan autoimun. Limfosit T diaktifkan dalam berespon terhadap rangsangan tak dikenal terkait dengan sel langerhans kulit. Pengaktifan sel T menyebabkan pembentukan sitokinin proinflamatori termasuk faktor nekrosis tumor alfa, dan faktor pertumbuhan yang merangsang proliferasi sel abnormal dan pergantiannya. Waktu pertukaran normal sel epidermis adalah sekitar 28-30 hari pada psoriasis, epidermis dibagian yang terkena diganti setiap 3-4 hari. Pertukaran sel yang cepat ini menyebabkan peningkatan derajat metabolisme dan peningkatan aliran darah ke sel untuk menunjang metabolisme tersebut. Peningkatan aliran darah menimbulkan eritema. Pertukaran dan proliferasi yang cepat tersebut menyebabkan terbentuknya sel-sel yang kurang matang. Trauma ringan pada kulit dapat menimbulkan peradangan berlebihan sehingga epidermis menebal dan terbentuklah plak. ( Corwin, 2009)
3. Klasifikasi
Klasifikasi didasarkan pada pola-pola klinis, Pada psoriasis didapatkan beberapa pola-pola klinis berikut ini menurut Brown & Burns (2005):
a. Psoriasis plak klasik
Ini merupakan pola yang paling sering dijumpai. Bisa berupa plak merah tunggal atau multipel, dengan diameter yang bervariasi mulai dari beberapa milimeter sampai beberapa centimeter, dan dengan permukaan yang berskuama. Bila dikerok dengan hati – hati maka skuama akan terlihat seperti memantulkan cahaya, memberi efek seperti perak ( akibat terjadinya parakeratosis pada stratum korneum ). Gosokan yang lebih keras akan menyebabkan timbulnya pendarahan bintik pada kapiler.
Plak – plak ini dapat timbul dibagian tubuh manapun, tetapi psoriasis mempunyai tempat predileksi pada permukaan ekstensor : lutut, siku, dan dasar tulang belakang. Lesi seringkali benar – benar simetris. Relatif jarang didapatkan pada wajah. Kulit kepala dan kuku sering terkena dan atropati bisa juga terjadi.
Gambar 2.1. Plak psoriasis pada siku
(sumber : Brown & Burns, 2005)
Plak-plak cenderung menjadi kronis dan stabil dengan sedikit perubahan dari hari ke hari. Akan tetapi, plak-plak tersebut perlahan-lahan bisa meluas dan bersatu dengan daerah yang berdekatan. Dapat juga hilang dengan cara spontan. Kadang-kadang psoriasis juga ditemukan pada tempat terjadinya trauma atau pembentukan jaringan parut, keadaan ini dikenal sebagai fenomena kobner atau isomorfik, yang merupaka suatu gambaran yang khas tetapi tidak patognomonik. Paparan dengan radiasi UV atau sinar matahari alama sering kali memperbaiki psoriasis.
Walaupun sering dikatakan bahwa psoriasis itu tidak gatal tetapi menurut pengalaman kami banyak pasien mengeluh rasa gatal yang hebat dan kebanyakan pasien mengalami rasa gatal pada waktu-waktu tertentu. Bahkan sebenarnya dalam bahsa yunani spora berarti gatal. Beberapa bentuk psoriasis (misalnya, gutata, fleksural) lebih cenderung menyebabkan iritasi.
b. Psoriasis kulit kepala
Psoriasis pada kulit kepala sering ditemukan : pada kenyataannya kulit kepala mungkin merupakan satu-satunya yang terkena. Kadang-kadang sulit untuk dapat membedakan antara psoriasis pada kulit kepala dengan dermatitis seboroik berat, tetapi psoriasis umunya lebih tebal. Sebagai pegangan utama, apabila kita dapat merasakan lesi yang terdapat pada kulit kepala sekaligus melihatnya, maka kelainan itu kemungkinan adalah psoriasis.
Lesi-lesi bervariasis dari hanya satu atau dua plak sampai berupa suatu lembaran skuama yang tebal dan menutupi seluruh permukaan kulit kepala. Kadang-kadang skuama bisa menjadi sangat tebal dan tertancap dalam gumpalan besar yang menempel pada rambut. Keadaan ini disebut dengan pitiriasis amiantasea. Bisa terjadi kerontokan rambut temporer pada psoriasis kulit kepala yang parah.
Gambar. 2.2. Psoriasis Kulit Kepala
(Sumber: Brown & Burns, 2005)
c. Psoriasis kuku
Kelainan pada kuku sering didapatkan, dan merupakan petunjuk diagnosis yang penting apabila lesi pada kulit hanya ada beberapa, atau tidak khas. Perubahan pada kuku hampir selalu terjadi pada psoriasis atropatik.
Terdapat dua kelainan yang dapat terjadi bersama-sama maupun sendiri-sendiri, yaitu lekukan (pitting) dan onikolisis. Cekungan kuku pada psoriasis relatif besar dan tidak teratur, berbeda dengan yang terdapat pada alopesia areata. Onikolisis pada awalnya menimbulkan daerah kemerahan yang gelap yang dikelilingi bagian yang berwarna merah muda seperti warna ikan salmon, tetapi kemudian warna kuku berubah menjadi ciklat atau kuning. Kadang-kadang terasa sakit. Kelainan kuku ini terutama onikolisis dapat juga timbul tanpa ditemukannya tanda lain (psoriasis).
Kadang-kadang perubahan pustular terjadi pada ujung jari dan kuku (kadang disebut dengan akrodermatitis kontinua) perubahan yang serupa dapat menyertai pustulosis palmo_plantar kronis pada psoriasis bentuk eritrodermik atau pustular, keseluruhan kuku bisa menjadi kasar dan berubah warna.
Gambar 2.3. Psoriasis pada lekukan kuku
G
(Sumber: Brown & Burns, 2005)
d. Psoriasis gutata
Psoriasis gutata sering timbul mendadak, dan dapat menyertai suatu infeksi, terutama infeksi streptokokus pada tenggorokan. Hal tersebut merupakan cara umum timbulnya psoriasis, terutama pada usia dewasa muda.
Gutata (guttate) dalam bahasa latin berarti ‘tetesan’. Kebanyakan lesi berukuran sekitar satu sentimeter dan biasanya warna lebih pucat bila dibandingkan dengan bercak psoriasis yang telah mantap, setidaknya pada fase awal. Diagnosis banding yang utama adalah pitriasis rosea, paling mudah dibedakan dengan adanya skuama parakeratosis pada psoriasis, dan bentuk lesinya (bulat pada psoriasis gutata, oval pada pitriasis rosea). Pada psoriasis gutata dapat timbul rasa gatal.
Lesi-lesi pada psoriasis gutata sering cepat hilang, tetapi pada beberapa pasien bisa membesar dan menjadi plak yang menetap.
Gambar 2.4. Psoriasis Gutata
(Sumber: Brown&Burns, 2005)
e. Psoriasis fleksural
Psoriasis fleksural dapat menyertai lesi plak yang khas, namun juga dapat terlihat tersendiri, atau berkaitan dengan kelainan-kelainan pada kulit kepala dan kuku. Lesi bisa ditemukan pada daerah lipat paha, celah pada bayi sumbing (natal cleft), aksila, umbilikus dan lipatan dibawah payudara. Selalu didapatkan adanya maserasi, dan skuama pada permukaan kulit sering hilang, meninggalkan penampakan erimatosa yang seperti daging. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis seboroik fleksural, sehingga carilah kelainan pada kuku atau tanda psoriasis ditempat lain. Beberapa dermatolog percaya terdapat satu fase dimana kedua kelainan saling tumpang tindih, yang kemudian disebut dengan kelainan ‘sebo-psoriasis’.
Psoriasis fleksural sering terasa gatal. Berhati-hatilah terhadap kemungkinan adanya sensitifitas kontak sekunder karena pemakaian obat-obat anti gatal yang dijual bebas.
Gambar 2.5. Psoriasis fleksural
(Sumber: Brown&Burns, 2005)
f. Brittle psoriasis(psoriasis yang rapuh)
Kadang-kadang anda akan menghadapi pasien psoriasis dimana tidak adanya plak yang tebal dan stabil, tetapi yang ada adalah daerah berskuama tipis yang tidak stabil. Lesi bisa timbul secara de novo atau berkembang secara mendadak pasien psoriasis yang kelainannya stabil selama bertahun-tahun. Salah satu penyebab keadaan seperti ini adalah terapi steroid sistemik (sering digunakan untuk kelainan yang lain), sedangkan steroid topikal yang poten dapat juga menyebabkan psoriasis yang stabil menjadi keras namun rapuh (brittle).
Maksud dari brittle psoriasis adalah bahwa lesi bisa menyebar ke seluruh tubuh dengan cepat, terutama apabila diobati dengan obat-obatan yang poten dan mengarah pada terjadinya eritroderma atau bahkan psoriasis pustular akut.
Gambar 2.6. Brittle Psoriasis yang tersebar luas
(Sumber: Brown&Burns, 2005)
g. Psoriasis eritrodermik
Apabila plak-plak psoriasis menyatu dan mengenai sebagian besar atau seluruh kulit, maka akan timbul eritroderma atau dermatitis eksfoliatif.
Psoriasis mungkin menjadi eritrodermik dalam proses yang berlangsung dengan lambat dan tidak dapat dihambat, atau sangat cepat. Kadang-kadang psoriasis erotridermik dapat timbul de novo. Obat-obat steroid sistemik atau topikal yang poten bisa mempercepat terjadinya psoriasis eritrodermik.
h. Psoriasis pustular akut (Von Zumbusch)
Keadaan ini sangat serius. Pasien dengan atau tanpa psoriasis sebelumnya secara tiba - tiba terserang eritema yang menyebar luas, dan ditumpangi dengan adanya pustula. Pustula ini bisa bergabung membentuk danau-danau yang berisi pus. Pustula ini steril.
Pasien mengalami panas tinggi yang naik turun, kelihatan parah dan merasa tidak sehat, serta didapatkan leukositosis. Apabila pasien tidak segera diobati, maka penyakitnya akan bertambah parah dan mungkin bisa meninggal, seringkali akibat terjadinya infeksi sekunder.
Gambar 2.7. Psoriasis pustular akut
(Sumber: Brown&Burns, 2005)
i. Pustulosis palmo-plantar kronis
Masih diperdebatkan tentang apakah ada hubungan antara kelainan ini dengan bentuk-bentuk yang lain dari psoriasis. Tindakan biopsi memperlihatkan gambaran patologis berbentuk serupa psoriasis, tetapi tidak umum bagi pasien untuk terserang pustulosis palmo-plantar kronis yang berkaitan tipe-tipe lain dari psoriasis.
Perubahan yang khas terdiri dari bercak-bercak tersebut lambat laun berubah menjadi coklat, berskuama, dan mengelupas. Kondisi tersebut biasa terasa tidak nyaman dan sakit, alih-alih gatal.
Lesi bisa didapatkan dalam ukuran kecil saja pada satu tangan atau kaki, atau bisa juga menutupi seluruh permukaan kedua telapak tangan dan telapak kaki. Kelainan ini bisa menyebabkan pasien tidak mampu menggunakan ekstermitasnya yang terserang penyakit tersebut.
Gambar 2.8. Pustulosis palmo-plantar kronis
(Sumber: Brown&Burns, 2005)
4. Manifestasi Klinis
Keadaan umum tidak dipengaruhi, kecuali pada psoriasis yang menjadi eritroderma. Sebagian pasien mengeluh gatal ringan. Tempat predileksi pada kulit kepala, perbatasan daerah dahi dan rambut, ekstremitas bagian ekstensor terutama siku serta lutut, dan daerah lumbo sakral. Menurut Arif Mansjoer (2000) manifestasi klinis yang dapat timbul pada klien dengan psoriasis yaitu :
a. Bercak Eritema dengan Skuama
Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi dengan skuama diatasnya. Eritema berbatas tegas dan merata, tetapi pada stadium penyembuhan serinbg eritema yang ditengah menghilang dan hanya terdapat dipinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta transparan. Besar kelainan bervariasi mulai dari lentikular, numular sampai plakat dan dapat berkonfluensi. Jika seluruhnya atau sebagian besar lentikular disebut psoriasi gultata, biasanya terdapat pada anak-anak dan dewasa muda dan umumnya terjadi setelah adanya infeksi akut oleh streptokok.
b. Fenomena Tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner
Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin., Auspitz dan Kobner (isomorfik). Kedua fenomena yang disebut lebih dahulu yang dianggap khas, sedangkan yang terakhir tak khas, hanya kira-kira 47% yang positif dan dapat didapati pula pada penyakit lain, misalnya liken planus dan veruka plana juvenilis.
Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang berubah warna menjadi putih setelah digores, akibat berubahnya indeks bias cahaya pada lapisan skuama. Cara menggores dapat dilakukan dengan pinggir gelas alas. Pada fenomena Auspitz tampak serum atau darah berbintik-bintik akibat papilomatosis. Cara mengerjakannya secara berikut: skuama yang berlapis-lapis itu dikerok dengan pinggir gelas alas hingga skuama habis. Pengerokan harus dilakukan perlahan-lahan karena jika terlalu dalam tidak akan tampak perdarahan yang berbintik-bintik, melainkan perdarahan yang merata. Trauma pada kulit normal pasien psoriasis, misalnya garukan dapat menyebabkan kelainan yang sama dengan kelainan psoriasis dan disebut fenomena kobner.
c. Nail Pit
Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku, yakni sebanyak kira-kira 50%, yang khas adalah pitting nail (nail pit) berupa lekukan-lekukan miliiar. Kelainan yang tak khas ialah kuku yang keruh, tebal, bagian distal terangkat karena terdapat lapisan tanduk dibawahnya, dan onikolisis.
d. Kelainan pada sendi
Selain menimbulkan kelainan pada kulit dan kuku, penyakit ini dapat pula menyebabkan kelainan pada sendi. Umumnya bersifat poliartikular, tempat predileksi pada sendi interfalangs distal. Banyak terdapat pada usia 30-50 tahun. Sendi membesar, kemudian terjadi ankilosis dan lesi kistik subkorteks. Kelainan pada mukosa jarang ditemukan dan tidak penting untuk diagnosis sehingga tidak dibicarakan.
5. Patofisiologi
Psoriasis merupakan penyakit kronik yang dapat terjadi pada setiap usia. Perjalanan alamiah penyakit ini sangat berfluktuasi. Pada psoriasis ditunjukan adanya penebalan epidermis dan stratum korneum dan pelebaran pembuluh-pembuluh darah dermis bagian atas. Jumlah sel-sel basal yang bermitosis jelas meningkat. Sel-sel yang membelah dengan cepat itu bergerak dengan cepat ke bagian permukaan epidermis yang menebal. Proliferasi dan migrasi sel-sel epidermis yang cepat ini menyebabkan epidermis menjadi tebal dan diliputi keratin yang tebal ( sisik yang berwarna seperti perak ). Peningkatan kecepatan mitosis sel-sel epidermis ini agaknya antara lain disebabkan oleh kadar nukleotida siklik yang abnormal , terutama adenosin monofosfat(AMP)siklik dan guanosin monofosfat (GMP) siklik. Prostaglandin dan poliamin juga abnormal pada penyakit ini. Peranan setiap kelainan tersebut dalam mempengaruhi plak psoriatik belum dapat dimengerti secara jelas ( Price & Wilson, 2006).
Skema 2.1
Sel langerhans kulit |
Rangsangan tak dikenal |
Kurang pengetahuan |
Pertukaran dan poliferasi sel yang cepat ( 3 – 4 hari ) |
Sitokinin inflamatori |
Limfosit T diaktifkan |
Epidermis |
Faktor tambahan lainnya |
Terbentuknya sel – sel yang kurang matang |
Peningkatan aliran darah ke sel |
Eritema |
Faktor pertumbuhan |
Proliferasi sel abnormal dan pergantiannya |
Peningkatan derajat metabolisme |
Gangguan citra tubuh |
Kerusakan integritas kulit |
Keratinisasi berlebihan |
Epidermis menebal |
Skuama |
Terbentuk plak |
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Kulit :
Dari autoanamnesis pasien Psoriasis Vulgaris mengeluh adanya bercak kemerahan yang menonjol pada kulit dengan pinggiran merah, tertutup dengan sisik keperakan, dengan ukuran yang bervariasi, makin melebar, bisa pecah dan menimbulkan nyeri, jarang menyebabkan gatal. Kelainan kulit pada psoriasis terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi (plak) dengan skuama di atasnya. Bisa ditemukan eritema sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium penyembuhannya sering eritema yang di tengah menghilang dan hanya terdapat di pingir.
Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika (mica-like scale), serta transparan. Besar kelainan bervariasi dari milier, lentikular, numular, sampai plakat, dan berkonfluensi, dengan gambaran yang beraneka ragam, dapat arsinar, sirsinar, polisiklis atau geografis.
Tempat predileksi pada ekstremitas bagian ekstensor terutama (siku, lutut, lumbosakral), daerah intertigo (lipat paha, perineum, aksila), skalp, perbatasan skalp dengan muka, telapak kaki dan tangan, tungkai atas dan bawah, umbilikus, serta kuku.
Pada psoriasis terdapat “Fenomena tetesan lilin”, Auspitz dan Kobner (isomorfik). Fenomena tetesan lilin dan Auspitz merupakan gambaran khas pada lesi psoriasis dan merupakan nilai diagnostik, kecuali pada psoriasis inverse (psoriasis pustular) dan digunakan untuk membandingkan psoriasis dengan penyakit kulit yang mempunyai morfologi yang sama, sedangkan Kobner tidak khas, karena didapati pula pada penyakit lain, misalnya liken planus, liken nitidus, veruka plana juvenilis, pitiriasis rubra pilaris, dan penyakit Darier. “Fenomena Kobner”didapatkan insiden yang bervariasi antara 38-76 % pada pasien psoriasis.
Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada goresan, seperti lilin yang digores disebabkan oleh berubahnya indeks bias. Cara menggores dapat menggunakan pingir gelas alas.
Pada “Fenomena Auspitz”tampak serum atau darah berbintik-bintik yang disebakan oleh papilomatosis. Cara megerjakannya : skuama yang berlapis-lapis itu dikerok, bisa dengan pinggir gelas alas. Setelah skuamanya habis, maka pengerokan harus dilakukan perlahan-lahan, jika terlalu dalam tidak akan tampak perdarahan yang berbintik-bintik melainkan perdarahan yang merata.
“Fenomena Kobner”dapat terjadi 7-14 hari setelah trauma pada kulit penderita psoriasis, misalnya garukan dapat menyebabkan kelainan yang sama dengan kelainan psoriasis.
Dua puluh lima sampai lima puluh persen penderita psoriasis yang lama juga dapat menyebabkan kelainan pada kuku, dimana perubahan yang dijumpai berupa pitting nail atau nail pit pada lempeng kuku berupa lekukan-lekukan miliar.
Perubahan pada kuku terdiri dari onikolosis(terlepasnya seluruh atau sebagian kuku dari matriksnya), hiperkeratosis subungual (bagian distalnya terangkat karena terdapat lapisan tanduk di bawahnya), oil spots subungual, dan koilonikia( spooning of nail plate).
Disamping menimbulkan kelainan pada kulit dan kuku, penyakit ini dapat pula menyebabkan kelainan pada sendi, tetapi jarang terjadi. Antara 10-30 % pasien psoriasis berhubungan dengan atritis disebut Psoriasis Artritis yang menyebabkan radang pada sendi. Umumnya bersifat poliartikular, tempat predileksinya pada sendi interfalangs distal, terbanyak terdapat pada usia 30-50 tahun. Sendi membesar, kemudian terjadi ankilosis dan lesi kistik subkorteks (Mansjoer, 2000).
b. Gambaran Histopatologi Psoriasis
Psoriasis memberikan gambaran histopatologi, yaitu perpanjangan (akantosis) reteridges dengan bentuk clubike, perpanjangan papila dermis, lapisan sel granuler menghilang, parakeratosis, mikro abses munro (kumpulan netrofil leukosit polimorfonuklear yang menyerupai pustul spongiform kecil) dalam stratum korneum, penebalan suprapapiler epidermis (menyebabkan tanda Auspitz), dilatasi kapiler papila dermis dan pembuluh darah berkelok-kelok, infiltrat inflamasi limfohistiositik ringan sampai sedang dalam papila dermis atas (Mansjoer, 2000).
c. Laboratorium Psoriasis
Tidak ada kelainan laboratorium yang spesifik pada penderita psoriasis tanpa terkecuali pada psoriasis pustular general serta eritroderma psoriasis dan pada plak serta psoriasis gutata. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan bertujuan menganalisis penyebab psoriasis, seperti pemeriksaan darah rutin, kimia darah, gula darah, kolesterol, dan asam urat.
Bila penyakit tersebar luas, pada 50 % pasien dijumpai peningkatan asam urat, dimana hal ini berhubungan dengan luasnya lesi dan aktifnya penyakit. Hal ini meningkatkan resiko terjadinya Artritis Gout. Laju endapan eritrosit dapat meningkat terutama terjadi pada fase aktif. Dapat juga ditemukan peningkatan metabolit asam nukleat pada ekskresi urin.
Pada psoriasis berat, psoriasis pustular general dan eritroderma keseimbangan nitrogen terganggu terutama penurunan serum albumin. Protein C reaktif, ?2 makroglobulin, level IgA serum dan kompleks imun IgA meningkat, dimana sampai saat ini peranan pada psoriasis tidak diketahui (Mansjoer, 2000).
7. Diagnosis Banding
Jika gambaran klinis khas, diagnosis tidak sulit ditegakkan. Jika tidak khas, maka harus dibedakan dengan beberapa penyakit lain yang tergolong dermatosis eritroskuamosa.
Pada stadium penyembuhan dapat terjadi hanya dipinggir hingga menyerupai dermatofitosis. Perbedaannya ialah keluhan pada dermatofitosis gatal sekali dan pada sediaan langsung dengan KOH ditemukan jamur.
Sifilis pada stadium II dapat menyerupai psoriasis dan disebut sifilis psoriasiformis. Perbedaannya, pada sifilis terdapat senggama tersangka (coitus suspectus), pembesaran kelenjar getah bening menyeluruh, dan tes serologi untuk sifilis positif.
Dermatitis seboroik berbeda dengan psoriasis karena skuamanya berminyak dan kekuning-kuningan dan bertempat prediliksi pada tempat yang seboroik.
Jika gambaran klinisnya tak khas, dilakukan biopsi. Dalam praktek, adakalanya setelah dilakukan biopsi beberapa kali baru tampak gambaran histopatologik yang khas.
8. Penatalaksanaan
Karena penyebab psoriasis belum diketahui pasti, maka ada obat pilihan. Dalam kepustakaan terdapat banyak cara pengobatan sebagian hanya berdasarkan empiris. Psoriasis sebaiknya diobati secara topikal. Jika hasilnya tidak memuaskan, baru dipertimbangkan pengobatan sistemik karena efek samping pengobatan sistemik lebih banyak.
a. Sistemik
· Kortikostiroid. Hanya digunakan pada psoriasis eritrodermik dan psoriasis pustulosa generalisata. Dosis permulaan 40-60 mg prednisonsehari. Jika telat ada perbaikan, diturunkan secara bertahap.
· Obat simtomatik. Yang biasa digunakan adalah metotreksat. Indikasinya ialah untuk psoriasis, psoriasis pustulosa, psoriasis artropatika dengan lesi kulit, dan eritroderma karena psoriasis yang sukar terkontrol dengan obat standar.
Kontraindikasinya ialah jika terdapat kelainan hati, ginjal, sistem hematopoetik, kehamilan, penyakit infeksi aktif (misalnya tuberkulosis), ulkus peptikum, kolitis ulserosa, dan psikosis.
Cara penggunaan metotreksat: mula-mula diberikan tes dosis inisial 5 mg per oral untuk mengetahui, apakah ada gejala sensitivitas atau gejala toksik. Jika tidak, diberikan dosis 3 x 2,5 mg, dengan interval 12 jam dalam seminggu dengan dosis total 7,5 mg. Jika tidak tampak perbaikan dosis dinaikkan 2,5-5 mg per minggu. Biasanya dengan dosis 3 x 5 mg per minggu telah tampak perbaikan. Cara lain ialah diberikan i.m 7,5-25 mg dosis tunggal setiap minggu. Cara tersebut lebih bangyak menimbulkan efek samping daripada cara pertama. Jika penyakitnya telah terkontrol, dosis diturunkan atau masa interval diperpanjang, kemudian dihentikan dan kembali ke terapi topikal. Setiap 2 minggu diperiksa Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, jumlah trombosit, dan urin lengkap. Setiap bulan diperiksa fungsi ginjal dan hati. Bila jumlah leukost kurang dari 3.500/uL metotreksat dihentikan. Jika fungsi hati normal, biopdi hati dilakukan setiap dosis total mencapai 1,5 g. Jika abnormal, biopsi dikerjakan setiap dosis total mencapai 1 g.
Efek samping metroteksat antara lain nyeri kepala, alopesia, serta gangguan saluran cerna, sumsum tulang belakang, hati, dan limpa. Pada saluran cerna berupa nausea, nyeri lambung, stomatitis ulserosa, dan diare. Jika hebat dapat terjadi enteritis hemoragik dan perforasi intestinal. Depresi sumsum tulang berakibat timbulnya leukopenia, trobositopenia, kadang-kadang anemia. Pada hati dapat terjadi fibrosis dan serosis.
· Levodopa.Obat ini sebenarnya dipakai untuk penyakit parkinson. Menurut iji coba, obat ini berhasil menyembuhkan kira-kira sejumlah 40% kasus psoriasis. Dosisnya antara 2 x 250 mg. Efek samping berupa mual, muntah, anoreksia, hipertensi, gangguan psikis, dan pada jantung.
· DDS (diamino difenilsulfon). Dipakai untuk psoriasis pustulosa tipe Barber dengan dosis 2 x 100 mg sehari. Efek sampingnya ialah anemia hemolitik, methemoglobinemia, dan agnranulositosis.
· Etretinat (tegison, tigason). Obat ini merupakan retinoid aromatik, digunakan bagi psoriasis yang sukar disembuhkan dengan obat-obat lain mengingat efek sampingnya. Dapat pula digunakan untuk eritroderma psoriatika. Cara kerjanya belum diketahui pasti. Pada psoriasisobat tersebut mengurangi proliferasi sel epidermal pada lesi psoriasis dan kulit normal, namun tidak seluruh pasien dapat disembuhkan dengan obat ini.
· Siklosporin.Efeknya ialah imunosupresif. Dosisnya 6 mg/kg BB sehari. Bersifat nefrotoksik dan hepatotoksik. Hasil pengobatan untuk psoriasis baik, namun setelah obat dihentikan dapat terjadi kekambuhan.
Dosisnya bervariasi: pada bulan pertama diberikan 1 mg/kg, jika belim terjadi perbaikan dosis dapat dinaikkan menjadi 1,5 mg/kg BB.
Efek sampingnya sangat banyak, diantaranya atrofi kulit, selaput lendir mulut, mata, hidung mengering, peninggian lipid darah, gangguan fungsi hati, hiperostosis, dan teratogenik.
b. Topikal
· Preparat ter.Biasa digunakan dan mempunyai efek antiradang. Menurut asalnya preparat ter dibagi menjadi 3, yakni yang berasal dari :
- Fosil, misalnya iktiol
- Kayu, misalnya oleum kadini dan oleum ruski
- Batubara, misalnya liantral dan likuor karbonis detergens
Preparat ter yang berasal dari fosil biasanya kurang efektif untuk psoriasis. Preparat yang cukup efektif ialah yang berasal dari batubara dan kayu. Ter dari batubara lebih efektif daripada ter dari kayu tetapi kemungkinan memberikan iritasi juga lebih besar.
Pada psoriasis yang telah menahun lebih baik digunakan ter yang berasal dari batubara karena lebih efektif dan kemungkinan timbulnya iritasi kecil. Sebaliknya, pada psoriasis akut dipilih ter dari kayu karena jika dipakai ter dari batu bara di khawatirkan kana terjadi iritasi dan menjadi eritroderma.
Ter yang berasal dari kayu kurang nyaman bagi pasien karena berbau kurang sedap dan berwarna coklat kehitaman. Sedangkan likuor karbonis detergens tidak demikian.
Konsentrasi yang biasa digunakan 2-5 %, dimulai dengan yang rendah, misalnya 2%. Jika tidak ada perbaikan, dinaikkan sampai 5%. Supaya lebih efektif, daya penetrasinya hipertinggi dengan cara menambahkan asam salisilat dengan konsentrasi 3-5% sebagai vehikulum harus digunakan salep karena mempunya daya penetrasi terbaik.
· Kortikostreroid.Kortikostreroid topical juga memberi hasil yang baik, namun harganya terlalu mahal. Harus dipil golongan kortikostreroid yang poten, misalnya senyawa fluor. Jika lesi hanya beberapa dapat pula disuntikkan triamsinolon asetonid intralesi seminggu sekali.
· Ditranol (antralin). Obat ini cukup efektif, namaun mewarnai kulit dan pakaian. Konsentrasi yang digunakan biasanya 0,2-0,8 % dalam pasta atau salep. Penyembuhan dalam 3 minggu.
· Pengobatan dengan penyinaran. Sinar ultraviolet mempunyai efek menghambat mitosis sehingga dapat digunakan untuk pengobatan psoriasis. Cara terbaik ialah penyinaran secara alamiah, tetapi tidak dapat diukur dan jika berlebihan akan memperhebat psoriasi. Karena itu, digunakan sinar ultraviolet artivisial, diantaranya sinar A yang dikenal sebagaian UVA. Sinar tersebut dapat digunakan secara tersendiri atau dikombinasi dengan psoralen (8-metoksipsoralen, metoksaklen). Dan disebut PUVA atau bersama-sama dengan preparat ter yang terkenal sebagai pengobatan cara goeckereman.
PUVA juga dapat digunakan untuk eritroderma psoriatik dan psoriasis pustulosa. Beberapa penyedilik mengatakan, pada pemakaian yang lama mungkin terjadi kanker kulit.
Pengobtan cara goeckerman menggunakan ter yang berasal dari batu bara, misalnya likuor karbonas detergen dalam minyak, shampo, atau losio. Ter tersebut bersifat potosensitizer dan dioleskan 2-3x sehari, lama pengobatan 4-6 minggu, penyembuhan terjadi setelah 3 minggu. Kecuali prepara ter juga dapat digunakan ditranol.
c. Pengobatan Psoriasis Pustulosa
Kecuali dengan kortikostreroid sistemik, juga dapat diobati dengan DDS (diamino difenilsulfon) dan klofazimin.
Dosis DDS 100-200 mg sehari, jika teklah terjadi penyembuhan dosis diturunkan. Efek samping DDS antara lain agranulositosis, anemia hemolitik, methemoglobinemia, neuritis perifer dan hepatotoksik dengan dosis 100 mg sehari umunya tidak ada efek samping klufazimin diberikan dengan dosis 2x100 mg. Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit , dan warna kekuningan pada sklera sehingga mirip ikterus.
(Mansjoer, 2000)
9. Komplikasi
Menurut Corwin (2009) komplikasi dari psoriasis diantaranya adalah :
a. Infeksi kulit yang parah dapat terjadi
b. Artritis deformans yang mirip dengan artritis rematoid, disebut artritis psoriatika, timbul pada sekitar 30-40% pasien psoriasis. Bila berat, psoriasis dapat menjadi penyakit yang melemahkan.
c. Berdampak pada penurunan harga diri pasien yang menimbulkan stres psikologis, ansietas, depresi, dan marah.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian keperawatan berfokus pada cara pasien menghadapi kondisi kulit yang psoriatik, penampakan kulit “ normal “ dan penampakan lesi kulit. Manifestasi yang terlihat adalah papula merah bersisik yang menyatu untuk membentuk plak berbentuk oval dengan batas yang jelas. Sisik atau skuama yang berwarna putih perak juga terdapat. Daerah kulit didekatnya akan memperlihatkan plak yang licin dan merah dengan permukaan yang mengalami maserasi. Pemeriksaan harus dilakukan pada daerah-daerah, khususnya yang cenderung untuk mengalami psoriasis, yaitu: siku, lutut, kulit kepala, celah gluteus, jari-jari tangan dan kaki. (Smeltzer, 2002)
Perawat harus menilai dampak penyakit tersebut pada pasien dan strategi koping ynag digunakan untuk melaksanakan aktifitas sehari-hari serta interaksi antara anggota keluarga dan teman-teman. Banyak pasien perlu ditentramkan kekawatirannya dengan penjelasan bahwa penyakitnya tidak menular, bukan mencerminkan higiene perorangan yang buruk dan juga bukan kanker kulit . (Smeltzer, 2002)
B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Smeltzer , 2002 diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada penderita psoriasis ini diantaranya :
1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi dan reaksi inflamasi.
2. Gangguan body image berhubungan dengan adanya sisik pada kulit.
3. Kurang pengetahuan terhadap penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, kesalahan interpretasi, kurang informasi.
C. Rencana Keperawatan
NO | Diagnosa Keperawatan | Tujuan & Kriteria Hasil | Intervensi | Rasional |
1. | Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi dan reaksi inflamasi. | Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 1X24 jam, diharapkan tidak terjadi gangguan pada integritas kulit. Dengan kriteria hasil: Ø Mempertahankan integritas kulit. Ø Tidak ada lesi. | Ø Kaji atau catat ukuran, warna, keadaan luka / kondisi sekitar luka. Ø Lakukan kompres basah dan sejuk atau terapi rendaman. Ø Lakukan perawatan luka dan hygiene sesudah itu keringkan kulit dengan hati-hati dan taburi bedak yang tidak iritatif. Ø Berikan prioritas untuk meningkatkan kenyamanan dan kehangatan pasien Ø Gosokkan krim pelembab atau minyak secara lembut. | Ø Memberikan informasi dasar tentang penanganan kulit. Ø Merupakan tindakan protektif yang dapat mengurangi nyeri. Ø Memungkinkan pasien lebih bebas bergerak dan meningkatkan kenyamanan pasien. Ø Mempercepat proses rehabilitasi pasien. Ø Untuk menghilangkan debriment. |
2. | Gangguan body image berhubungan dengan adanya sisik pada kulit. | Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 1X24 jam, diharapkan tidak terjadi gangguan body image. Dengan kriteria hasil: Ø Menyatakan penerimaan situasi diri. Ø Bicara dengan keluarga/orang terdekat tentang situasi, perubahan yang terjadi. | Ø Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang perubahan citra tubuh. Ø Nilai rasa keprihatinan dan ketakutan klien. Ø Bantu klien dalam mengembangkan kemampuan untuk menilai diri dan mengenali serta mengatasi masalah. Ø Mendukung upaya klien untuk memperbaiki citra diri, mendorong sosialisasi dengan orang lain dan membantu klien ke arah penerimaan diri. | Ø Klien membutuhkan pengalaman didengarkan dan dipahami dalam proses peningkatan kepercayaan diri. Ø Memberikan kesempatan kepada perawat untuk menetralkan kecemasan dan memulihkan realitas situasi. Ø Kesan seseorang terhadap dirinya sangat berpengaruh dalam pengembalian kepercayaan diri. Ø Pendekatan dan saran yang positif dapat membantu menguatkan usaha dan kepercayaan yang dilakukan. |
3. | Kurang pengetahuan terhadap penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, kesalahan interpretasi, kurang informasi. | Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam di harapkan pasien dapat mengerti tentang penyakit dan pengobatan yang berhubungan dengan penyakitnya. Dengan kriteria hasil : Ø pasien mengerti dan paham tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan. Ø pasien dapat mengerti tentang tindakan pengobatan dan terapi Ø melakukan perubahan pola hidup tertentu dan berpartisipasi dalam program pengobatan. | Ø Kaji ulang prognosis dan harapan yang akan datang. Ø diskusikan perawatan kulit contoh penggunaan pelembab dan pelindung sinar matahari. Ø Dorong kesinambungan program latihan dan jadwalkan periode istirahat. Ø Kaji ulang pengobatan, termasuk tujuan, dosis, rute, dan efek samping yang diharapkan dapat di laporkan. Ø Berikan nomor telepon untuk orang yang di hubungi. | Ø Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi. Ø Gatal, lepuh, dan sensitifitas luka yang sembuh . Ø Mempertahankan mobilitas, menurunkan komplikasi dan mencegah kelelahan, membantu proses penyembuhan. Ø Pengulangan memungkinkan kesempatan untuk untuk bertanya dan menyakinkan pemahaman yanh akurat. Ø Memberikan akses yang mudah bagi tim pengobatan untuk menguatkan pendidikan , klarifikasi kesalahan konsep, dan menurunkan potensial komplikasi |
Doengoes, E, Marilynn. (2000). “Rencana Asuhan Keperawatan”, Edisi 3, EGC: Jakarta.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lapisan epidermis pada kulit manusia terbentuk dari perubahan sel yang terjadi dari keratinisasi yaitu proses berpindah dari lapisan epidermal terbawah menuju ke permukaan dengan perubahan ukuran dan komposisi kimia (penambahan keratin). Keratinisasi adalah suatu proses diferensiasi sel epetile yang dilakukan untuk mengingkatkan ketebalan epitel dengan cara migrasi sel dari lapisan basal, lapisan spinosa, lapisan granulosum sampai ke lapisan keratin.
Kegagalan pada proses keratinisasi dapat menyebabkan penyakit yang salah satunya adalah psoriasis. Psoriasis adalah penyakit kelainan pada kulit yang bersifat kronik dan residif yang penyebab pastinya sampai saat ini masih belum jelas. Penyakit ini ditandai dengan terjadinya pergantian kulit epidermis atau proses keratinisasi yang begitu cepat dari biasanya, sehingga menimbulkan lesi kulit berupa skuama dan plak. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun dapat menurunkan kualitas hidup karena dapat membuat penderitanya menjadi kurang percaya diri bila tidak dirawat dengan baik.
Karena penyebab psoriasis belum diketahui pasti, maka ada obat pilihan. Dari hasil studi kepustakaan didapatkan banyak cara pengobatan sebagian hanya berdasarkan empiris, namun psoriasis sebaiknya diobati secara topikal. Jika hasilnya tidak memuaskan, mungkin perlu dipertimbangkan pengobatan sistemik mengingat jangkauan efek terapi yang dapat dicapai bersifat lebih luas.
Perawat harus menilai dampak penyakit psoriasis ini pada pasien dan strategi koping yang digunakan untuk melaksanakan aktifitas sehari-hari serta interaksi antara anggota keluarga dan teman-teman. Banyak pasien perlu ditentramkan kekawatirannya dengan penjelasan bahwa penyakitnya tidak menular, bukan mencerminkan higiene perorangan yang buruk dan juga bukan kanker kulit. Dalam asuhan keperawatan yang diterapkan pada klien dengan psoriasis ini, ada beberapa diagnosa yang diangkat, yang ketiganya merupakan diagnosa yang utama muncul pada penyakit ini, yaitu: Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi dan reaksi inflamasi, Gangguan body image berhubungan dengan adanya sisik pada kulit, dan Kurang pengetahuan terhadap penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, kesalahan interpretasi, dan kurang informasi.
B. Saran
1. Perawat diharapkan dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem integumen sebagai contoh psoriasi. Seperti melakukan perawatan dan berkolaborasi dengan tim medis lainnya untuk memberikan penatalaksanaan yang sesuai dengan kebutuhan klien.
2. Institusi pelayanan keperawatan khususnya rumah sakit maupun puskesmas diharapkan mampu menerapkan asuhan keperawatan dengan klien gangguan sistem integumen misalnya psoriasis pada setiap perawat yang ada.
3. Institusi pendidikan keperawatan dapat memberikan pendidikan yang mendalam mengenai asuhan keperawatan klien dengan psoriasis agar mahasiswa/i dapat menerapkan asuhan keperawatan tersebut dengan baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, J, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3. EGC: Jakarta.
Doengoes, E, Marilynn. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC: Jakarta.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3. Media Aesculapius: Jakarta.
Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit, Edisi 6. EGC: Jakarta.
Smeltzer dan Bare. Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth Vol.3. Edisi 8. EGC: Jakarta.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk mahasiswa keperawatan, Edisi 3. EGC: Jakarta.