BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Waham merupakan gangguan isi pikir yang etiologinya belum jelas. Sebagian sumber mengatakan bahwa tidak ada gangguan fungsi otak yang mempengaruhi terjadinya gangguan isi pikir : waham tersebut, kadang-kadang disertai halusinasi tetapi tidak terjadi pada semua penderita waham.
Prevalensi terjadinya gangguan waham menetap di Amerika Serikat berdasarkan DSM-IV-TR adalah sekitar 0,03%, dimana angka ini jauh dibawah angka kejadian skizofrenia (1%) dan gangguan mood (5%). 1,4 Insidensi tahunan gangguan waham menetap adalah 1 sampai 3 kasus baru per 100.000 populasi, yaitu kira-kira 4% dari semua perawatan pertama pasien psikiatrik. Usia rata-rata adalah kira-kira 40 tahun, tetapi rentang usia untuk onsetnya adalah berkisar antara 18 tahun sampai 90 tahun (Keliat, BA, 1998).
Studi lain yang dilakukan di Spanyol pada tahun 2008 berdasar kan rekam medis disuatu rumah sakit, mendapati 370 pasien yang dirawat, di diagnosa dengan gangguan waham menetap, dimana ditemukan rata-rata usia pasien-pasien adalah 55 tahun. Wanita lebih sering menderita gangguan waham menetap dengan rasio. (Keliat, BA, 1998)
Klien yang mempunyai keyakinan tantang kesehatan yang baik akan dapat melawati fase-fase waham dengan koping yang adaptif, sedangkan pada klien yang maladaptif yakin terhadap pemikirannya waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat, semangkin akut psikosis semakin sering ditemui waham disorganisasi dan tidak sistematis. Maka dari itu kelompok mengangkat teori waham agar kita lebih memahami tentang waham serta penyebab-waham dan dapat mengatasinya.
Perawat sebagai bagian dari tim kesehatan yang memiliki lebih banyak kesempatan untuk melakukan intervensi kepada pasien dan keluarga, sehingga fungsi dan peran perawat dapat dimaksimalkan dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap penderita seperti memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kesehatan fisik, perawat juga dapat melakukan pendekatan spiritual, psikologis dan mengaplikasikan fungsi edukatornya dengan memberikan penyuluhan kesehatan terhadap penderita sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan penderita dan keluarga yang nantinya diharapkan dapat meminimalisir resiko maupun efek yang mungkin muncul dari gangguan waham.
Dari uraian diatas, mengingat betapa banyaknya penderita yang mengalami Gangguan proses pikir : Waham yang tidak bisa kita pandang sebelah mata, serta melihat betapa besar peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dalam hal ini dapat andil dalam kesehatan masyarakat, maka kelompok penulis mencoba mengangkat materi tentang Gangguan proses pikir : Waham.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu memahami tentang asuhan keperawatan klien dengan gangguan proses pikir : Waham.
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang konsep dasar teori waham, pengertian waham, macam-macam waham serta asuhan keperawatan gangguan proses pikir : Waham secara teoritis.
C. Ruan Lingkup Penulisan
Karena luasnya ruang lingkup masalah tentang gangguan proses pikir : Waham ini, maka kelompok penulis membatasi isi pembahasan hanya pada konsep dasar gangguan proses pikir : Waham serta asuhan keperawatan.
D. Metode penulisan
Penulisan makalah ini kelompok penulis menggunakan metode deskriftif yaitu dengan penjabaran masalah – masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan dari literatur yang ada baik di perpustakaan maupun di media internet sebagai pelengkap.
E. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari 4 bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, ruang lingkup penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep dasar gangguan waham dan pengertiannya, proses terjadinya waham, penilaian terhadap stressor, sumber koping, mekanisme koping, rentang respon, macam-macam waham.
Bab III : Asuhan keperawatan pada pasien waham yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana intervensi keperawatan, strategi pelaksana dan evaluasi keperawatan.
Bab IV : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar Gangguan Waham
1. Pengertian
Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya, ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal melalui proses interaksi atau informasi secara akurat (Yosep Iyus, 2009 hal 237).
Waham adalah keyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realita norma (Stuart dan Sundeen, 1998 hal 445).
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan tetapi dipertahankan dan tidak dapat dirubah secara logis oleh orang, kenyataan ini berasal dari pemikiran klien dimana sudah kehilangan control (Dep Kes RI,1994 dalam Yosep Iyus 2009 hal 237).
2. Proses Terjadinya Waham
Menurut Yosep Iyus (2009 hal 237-239), proses terjadinya waham terdiri dari beberapa fase yaitu :
a. Fase lack of human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang dengan status social dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara reality dengan self ideal sangat tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang sebagai seorang yang dianggap sangat cerdas, sangat berpengalaman dan diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi karena sangat pentingnya pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh kembang (life span history).
b. Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self ideal yang melebihi linkunga tersebut. Padahal self reality-nya jauh. Dari aspek pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh, support system semuanya sangat rendah.
c. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia katakana adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
d. Fase environmental support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan control diri dan tidak berfungsinya norma (super ego) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan berdosa saat berbohong.
e. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dan menghindari interaksi social (isolasi sosial).
f. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk mengguncang keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta memperkaya keyakinan religiusnya bahwa apa-apa yang dilakukakan menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi sosial.
Proses terjanya waham menurut Stuart and Laraia, (2005) adalah sebagai berikut :
a. Faktor Predisposisi
1) Biologi
Faktor-faktor genetik yang pasti mungkin terlibat dalam perkembangan suatu kelainan ini adalah mereka yang memiliki anggota keluarga dengan kelainan yang sama (orang tua, saudara kandung, sanak saudara lain). Gangguan perkembangan dan fungsi otak / SSp. yang menimbulkan.
a) Hambatan perkembangan otak khususnya kortek prontal, temporal dan limbik.
b) Pertumbuhan dan perkembangan individu pada prenatal, perinatal, neonatus dan kanak-kanak.
2) Psikososial
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon psikologis dari klien. Sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi seperti penolakan dan kekerasan.
3) Sosial budaya
Kehidupan sosial budaya dapat pula mempengaruhi timbulnya waham seperti kemiskinan.Konflik sosial budaya (peperangan, kerusuhan, kerawanan) serta kehidupan yang terisolasi dans tress yang menumpuk.
b. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2005), faktor presipitasi terjadinya gangguan waham adalah:
Karakteristik umum latar belakang termasuk riwayat penganiayaan fisik/emosional, perlakuan kekerasan dari orang tua,tuntutan pendidikan yang perfeksionis, tekanan, isolasi, permusuhan, perasaan tidak bergunaataupun tidak berdaya.
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2) Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
Proses terjadinya waham menurut Stuart dan Sundeen dalam Yosep Iyus (2009 hal 239) dapat dirangkum dalam pohon masalah sebagai berikut :
Effect : RESIKO TINGGI PERILAKU KEKERASAN Core Problem : GANGGUAN ISI PIKIR : WAHAM Causa : ISOLASI SOSIAL HARGA DIRI RENDAH KRONIS |
Tabel 1.1. Fase Terjadinya Waham
3. Penilaian terhadap stressor
Koping yang berfokus pada emosi dan koping yang berfokus pada masalah Stuart and Laraia ( 2005), Koping yang berfokus pada emosi merupakan koping yang dilakukan untuk mengatasi masalah dengan berfokus pada emosi sebagai penghilang atau paling tidak mengendalikan tekanan. Koping yang berfokus pada masalah merupakan upaya untuk mengurangi tekanan/stress dengan berfokus pada permasalahan yang dihadapi secara langsung.
4. Sumber koping
Ada beberapa sumber koping individu yang harus dikaji yang dapat berpengaruh terhadap gangguan otak dan prilaku kekuatan dalam sumber koping dapat meliputi seperti : modal intelegensi atau kreativitas yang tinggi. Orang tua harus secara aktif mendidik anak-anaknya, dewasa muda tentang keterampilan koping karena mereka biasanya tidak hanya belajar dan pengamatan. Sumber keluarga dapat berupa pengetahuan tentang penyakit, finansial yang cukup, ketersediaan waktu dan tenaga dan kemampuan untuk memberikan dukungan secara berkesinambungan. (Stuart and sudeent, 2005)
Koping individu dalam pelaksanaan tentu saja akan dipengaruhi atau bahkan ditentukan oleh berbagai hal. Beberapa ahli menunjukkan ketertarikan untuk meneliti berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi koping. Brehm & Kassin (1990) berpendapat bahwa koping dipengaruhi oleh:
a. Faktor-faktor internal seperti pikiran, perasaan, genetik, fisiologis, dan/atau tipe kepribadian.
b. Faktor-faktor eksternal seperti peristiwa-peristiwa atau fenomena alam yang terjadi dalam hidup individu, konteks budaya dimana individu berada, dan/atau hubungan-hubungan sosial yang dihadapinya.
Pervin & John (1997) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi individu dalam melakukan koping adalah waham. Cara individu dengan kepribadian introver atau ekstrover misalnya, jelas akan berbeda. Pada individu introver, dia akan lebih memfokuskan pada koping yang mendukung kepribadiannya yang lebih melihat ke dalam dirinya. Sedangkan individu yang ekstrover akan memilih koping yang lebih banyak melihat atau melibatkan hal-hal di luar dirinya.
Menurut Sment, (1984) berpendapat bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi bagaimana individu melakukan koping terhadap tekanan. Faktor-faktor tersebut adalah:
a. Kondisi individu yang bersangkutan, seperti berapa umurnya, apa jenis kelaminnya, bagaimana temperamennya, faktor-faktor genetik yang didapat dari leluhurnya, tingkat intelegensi, tingkat atau jenis pendidikan, suku asal, kebudayaan dimana ia tinggal/dibesarkan, status ekonomi, dan/atau kondisi fisik secara umum.
b. Karakteristik kepribadian seperti tipe keribadian A atau B, individu yang optimis atau pesimis, dan jenis-jenis /tipologi kepribadian lainnya.
c. Kondisi sosial kognitif seperti dukungan sosial, jaringan sosial, dan/atau kontrol pribadi atas diri individu itu sendiri.
d. Hubungan yang terjadi antara individu tersebut dengan lingkunga sosial atau jaringan sosialnya, dan/atau penyatuan diri masing-masing individu dalam sebuah kelompok pada masyarakat di mana ia tinggal.
e. Strategi mengatasi tekanan yang lebih banyak diambil setiap menghadapi situasi yang membutuhkan pengentasan masalah, seperti berfokus pada emosi, pada masalah, menghindar dari masalah, atau menganggap masalah tersebut tidak ada.
5. Mekanisme koping
Menurut Stuart and Laraia (2005), perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif meliputi :
a. Regresi : berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi ansietas.
b. Proyeksi : sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.
c. Penyangkalan.
6. Rentang respons
Menurut Stuart Laraia (2005), Respons individu terhadap penyakit fisik, berkaitan dengan pengalaman masa lalu, persepsi terhadap penyakit, keyakinan terhadap penyembuhan dan sistem pelayanan kesehatan. Rentang respon individu berfluktuasi dari respon adaptif sampai mal adaptif.
a. Respons adaptif
Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang masih dapat diterima atau norma-norma sosial budaya yang masih umum yang berlaku dengan kata lain individu tersebut masih dalam batas-batas norma dalam menyelesaikan masalahnya. Respon ini meliputi :
1) Menyendiri / solitute merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya serta mengevaluasi diri untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya.
2) Otonomi merupakan kemampuan individu yang menentukan dan menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3) Kebersamaan merupakan suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu mampu saling memberi dan saling menerima.
4) Saling ketergantungan merupakan suatu hubungan saling tergantung antar individu dengan orang lain dalam rangka membina hubungan interpersonal.
b. Respons maladaptif
Respon mal adaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial, budaya, serta lingkungannya, respon mal adaptif yang sering ditemukan adalah :
1) Pikiran logis persepsi akurat.
2) Emosi konsisten dengan pengalaman.
3) Prilaku sesuai dengan hubungan social.
4) Kadang-kadang isi pikir terganggu ilusi.
5) Reaksi emosional ber-lebihan atau kurang.
6) Prilaku ganjil atau tidak lazim.
7) Gangguan isi pikir waham halusinasi
8) Ketidakmampuan untuk mengalami emosi
9) Ketidakmampuan isolasi social
RENTANG RESPON WAHAM
Respon Adaptif Respon Maladaptif
|
|
Persepsi akurat
Emosi konsisten
dg pengalaman
Perilaku sesuai
Berhubungan sosial
Tabel 1.2. Rentang Respon Waham (Stuart dan Sundeen, 1998)
7. Macam-macam waham
Menurut Townsend (1998 hal 149), macam-macam waham adalah sebagai berikut :
a. Waham kebesaran
Seseorang memiliki suatu perasaan berlebihan dalam kepentingan atau kekuasaan.
b. Waham curiga
Seseorang merasa terancam dan yakin bahwa orang lain bermaksud untuk membahayakan atau mencuriagai dirinya.
c. Waham siar
Semua kejadian dalam lingkungan sekitarnya diyakini merujuk/terkait kepada dirinya.
d. Waham kontrol
Seseorang percaya bahwa objek atau orang tertentu mengontrol perilakunya.
Menurut Yosep Iyus (2009 hal 239-240), macam-macam waham selain waham yang telah dijelaskan di atas adalah sebagai berikut :
a. Waham agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan.
b. Waham somatik
Meyakini bahwa tubuh klien atau bagian tubuhnya terganggu, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan.
c. Waham nihilistik
Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal, diucapkan berulangkali tetapi tidak sesuai kenyataan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN WAHAM
Berbagai kehilangan dapat terjadi pada pasca bencana, baik kehilangan harta benda, keluarga maupun orang yang bermakna. Kehilangan menyebabkan stres bagi mereka yang mengalaminya. Jika stres ini berkepanjangan dapat memicu masalah gangguan jiwa dan waham.
A. Pengkajian pasien waham
Tanda dan gejala waham berdasarkan jenis waham meliputi :
1. Waham kebesaran : Individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuatan khusus dan diucapkan berulang kali, tapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “ Saya ini pejabat didepartemen kesehatan lho! “ atau, “ Saya punya tambang emas.”
2. Waham curiga : individu meyakini bahwa ada seorang atau kelompok yang berusaha merugikan/menciderai dirinya dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Saya tehu seluruh saudara saya ingin menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
3. Waham agama : Individu memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan dan diucapkan berulanh kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Kalau saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih setiap hari.”
4. Waham somatik : Individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau terserang penyakit dan diucaokan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Saya sakit kanker.” (Kenyataan pada pemerikasaan laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia sakit kanker.
5. Waham nihilistik : Individu meyakini bahwa dirinya sudah sudah tidak ada didunia/meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Ini kan alam kubur ya, semua yang ada di sini adalah roh-roh.”
B. Diagnosa keperawatan
Setelah pengkajian dilakukan dan data subjektif dan obejektif ditemukan pada pasien, diagnosis keperawatan yang dapat ditegakkan adalah gangguan proses pikir : Waham.
C. Rencana intervensi keperawatan
Setelah diagnosis ditegakkan, perewat melakukan tindakan keperawatan bukan hanya pada pasien tetapi juga keluarga. Tindakan keperawatan pasien waham dan keluarganya meliputi :
1. Tindakan keperawatan pada pasien
a. Tujuan keperawatan
1) Pasien dapat berorientasi pada realitas secara bertahap
2) Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar
3) Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan
4) Pasien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar
b. Tindakan keperawatan
1) Membina hubungan saling percaya
Sebelum memulai mengkaji pasien waham, perawat harus membina hubungan saling percaya terlebih dahulu agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat.
Tindakan yang harus perawat lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya, yaitu :
a) Mengucapkan salam terpeutik
b) Berjabat tangan
c) Menjelaskan tujuan interaksi
d) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien.
2) Membantu orientasi realitas
a) Tidak mendukung atau membantah waham pasien
b) Meyakinkan pasien berada dalam keadaan aman
c) Mengobservasi pengaruh waham pada aktivitas sehari-hari
d) Jika pasien terus-menerus membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa memberikan dukungan atau menyangkal sampai pasien berhenti membicarakannya
e) Memberikan pujian jika penampilan dan orientasi pasien sesuai dengan realitas.
3) Mendiskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut dan marah.
4) Meningkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional pasien.
5) Mendiskusikan tentang kemampuan positif yang dimiliki.
6) Membantu melakukan kemampuan dimiliki.
7) Mendiskusikan tentang obat yang diminum.
8) Melatih minum obat yang benar.
SP 1 pasien : Membina hubungan saling percaya; mengidentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi dan cara memenuhi kebutuhan; mempraktikkan pemenuhan kebutuhan yang tidak terpenuhi.
Orientasi
“Selamat pagi, perkenalkan nam saya A, saya perawat yang dinas pagi ini diruang Melati. Saya dinas dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang nanti, saya yang akan merawat anda hari ini. Nama Anda siapa, senangnya dipanggil apa?”
“Boleh kita berbincang-bincang tentang apa yang Bp rasakan sekarang?”
“Berapa lama Bp mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 30 menit?”
“Di mana enaknya kita berbincang-bincang, Bp?”
Kerja
“Saya mengerti Bp merasa bahwa Bp adalah seorang nabi, tetapi sulit bagi saya untuk memercayainya karena setahu saya semua nabi tidak ada lagi. Bisa kita lanjutkan pembicaraan yang tadi terputus Bp?”
“Tampaknya Bp gelisah sekali, bisa Bp ceritakan apa yang B rasakan?”
“O...jadi Bp merasa takut nanti diatur-atur oleh orang lain dan tidak punya hak untuk mengatur diri Bp sendiri?”
“Siapa menurut Bp yang sering mengatur-atur diri Bp ?”
“Jadi, ibu yang terlalu mengatur-ngatur ya Bp, juga kakak dan adik Bp yang lain?”
“Kalau Bp sendiri, inginnya seperti apa?”
“Bagus, Bp sudah punya rencana dan jadwal untuk diri sendiri!”
“Coba kita tuliskan rencana dan jadwal tersebut Bp”
“Wah, bagus sekali! Jadi setiap harinya Bp ingin ada kegiatan di luar rumah karena bosan kalau dirumah terus ya?”
Terminasi
“Bagaimana perasaan Bp setelah berbincang-bincang dengan saya?”
“Apa saja tadi yang kita bicarakan? Bagus!”
“Bagaimana kalau jadwal ini Bp coba lakukan, setuju?”
“Bagaimana kalau saya datang kembali 2 jam lagi?”
“Kita bercakap-cakap tentang kemampuan yang pernah Bp miliki?”
“Mau dimana kita bercakap-cakap?”
“Bagaimana kalau disini lagi?”
SP 2 pasien : Mengidentifikasi kemampuan positif pasien dan membantu mempraktikkannya
Orientasi
“Selamat pagi Bp, bagaimana perasaannya saat ini? Bagus!”
“Apakah Bp sudah mengingat-ingat apa saja hobi Bp?”
“Bagaimana kalau kita bicarakan hobi tersebut sekarang?”
“Di mana enaknya kita berbincang-bincang tentang hobi Bp tersebut?”
“Berapa lama Bp mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 20 menit?”
Kerja
“Apa saja hobi Bp? Saya catat ya Bp, terus apa lagi?”
“Wah, rupanya Bp pandai main bola voli ya, tidak semua orang bisa bermain voli seperti itu lho Bp.”
“Dapatkah Bp ceritakan kepada saya kapan pertama kali belajar main voli, siapa yang dulu mengajarkannya kepada B, di mana?”
“Dapatkah Bp peragakan kepada saya bagaimana bermain voli yang baik itu?”
“Wah, baik sekali permainannya.”
“Coba kita buat jadwal untuk kemampuan Bp ini ya, berapa kali sehari/seminggu Bp mau bermain voli?”
“Apa yang Bp harapkan dari kemampuan bermain voli ini?”
“Ada tidak hobi Bp yang lain selain main voli?”
Terminasi
“Bagaimana perasaan Bp setelah kita bercakap-cakap tentang hobidan kemampuan Bp?”
“Setelah ini, coba Bp lakukan latihan voli sesuai dengan jadwal yang telah kita buat ya!”
“Besok kita ketemu lagi ya Bp? Bagaimana kalau nanti sebelum makan siang? Di kamar makan saja ya?”
“Nanti kita akan membicarakan tentang obat yang harus Bp minum, setuju?”
SP 3 Pasien : Mengajarkan dan melatih cara minu obat yang benar
Orientasi
“Selamat pagi Bp! Bagaimana Bp sudah coba latihan volinya? Bagus sekali!”
“Sesuai janji kita dua hari yang lalu, bagaimana kalau sekarang kita membicarakan tentang obat yang Bp minum?
“ Dimana kita mau bicara?”
“Berapa lama Bp mau kita bicara? Bagaimana kalau 30 menit?”
Kerja
“Bp, berapa macam obat yang diminum? Jam berapa saja obat diminum?”
“Bp perlu minum obat ini agar pikirannya jadi tenang, tidurnya juga tenang. Obatnya ada 3 macam, yang berwarna oranye namanya CPZ gunanya untuk menenangkan, yang berwarna putih ini namanya THP gunanya agar rileks, dan warnanya merah jambu ini namanya HLP gunanya agar pikiran Bp tenang. Semuanya ini diminum 3 kali sehari jam 7 pagi, jam 1 siang, dan jam 7 malam. Jika nanti setelah minum obat mulut Bp terasa kering, untuk membantu mengatasinya Bp bisa banyak minum dan mengisap-isap es batu. Sebelum minum obat ini, Bp mengecek dulu label dikotak obat apakah benar nama Bp tertulis di situ, berapa dosis atau butir yang harus diminum, jam berapa saja harus diminum. Baca juga apakah nama obatnya sudah benar”
“Obat-obat ini harus diminum secara teratur dan kemungkinan besar harus diminum dalam jangka waktu yang lama. Agar tidak kambuh lagi, sebaiknya Bp tidak menghentikan sendiri obat yang harus diminum sebelum membicarakannya dengan dokter.”
Terminasi
“Bagaimana perasaan Bp setelah kita bercakap-cakap tentang obat yang Bp minum?”
“Apa saja obatnya? Jam berapa minum obat?”
“Mari kita masukkan pada jadwal kegiatan abang. Jangan lupa minum obatnya dan nanti saat makan minta sendiri obatnya pada suster.”
“Jadwal yang telah kita buat kemarin dilanjutkan ya Bp!”
“Bp, besok kita ketemu lagi untuk melihat jadwal kegiatan yang telah dilaksanakan. Bagaimana kalau seperti biasa, jam 10 pagi ditempat sama? Sampai besok!”
2. Tindakan keperawatan pada keluarga
a. Tujuan keperawatan
1) Keluarga mampu mengidentifkasi waham pasien
2) Keluarga mampu memfasilitasi pasien untuk memenuhi kebutuhan yang dipenuhi oleh wahamnya
3) Keluarga mampu mempertahankan program pengobatan pasien secara optimal.
b. Tindakan keperawatan
1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga saat merawat pasien dirumah
2) Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami pasien
3) Diskusikan dengan keluarga tentang :
a) Cara merawat pasien waham dirumah
b) Tindakan tindak lanjut dan pengobatan yang teratur
c) Lingkungan yang tepat untuk pasien
d) Obat pasien (nama obat, dosis, frekuensi, efek samping, akibat penghentian obat)
4) Berikan latihan kepada keluarga tentang cara merawat pasien waham
5) Menyusun rencana pulang pasien bersama keluarga.
SP 1 keluarga : Membina hubungan saling keluarga; mengidentifikasi masalah menjelaskan proses terjadinya masalah; dan membantu pasien untuk patuh minum obat.
Orientasi
“Selamat pagi Pak, Bu, perkenalkan nama saya A, saya perawat yang dinas diruang melati ini. Saya yang merawat Bp selama ini. Nama Bapak dan Ibu siapa, senangny dipanggil apa?”
“Bagaimana kalau kita sekarang kita membicarakan masalah Bp dan cara merawat Bp di rumah?”
“Di mana kita mau berbincang-bincang? Bagaimana kalau di ruang wawancara?”
“Berapa lama waktu Bapak dan Ibu?”
“Bagaimana kalau 30 menit?”
Kerja
“Pak, Bu, apa masalah yang Bapak/Ibu rasakan dalam merawat Bp? Apa yang sudah dilakukan di rumah?”
“Dalam menghadapi sikap anak Ibu dan Bapak yang selalu mengaku-ngaku sebagai seorang nabi, tetapi nyatanya bukan nabi merupakan salah satu gangguan proses berpikir. Untuk itu, akan saya jelaskan sikap dan cara menghadapinya. Setiap kali anak Bapak dan Ibu berkata bahwa ia seorang nabi, Bapak/Ibu dengan mengatakan pertama “Bapak/Ibu mengerti Bp merasa seorang nabi, tetapi sulit bagi Bapak/Ibu untuk mempercayainya karena setahu Bapak/Ibu semua nabi sudah meninggal”, kedua, Bapak dan Ibu harus lebih sering memuji Bp jika melakukan ha-hal yang baik, dan ketiga hal-hal ini sebaiknya dilakukan oleh seluruh keluarga yang berinteraksi dengan Bp. Bapak /Ibu dapat bercakap-cakap dengan Bp tentang kebutuhan yang diinginkan Bp, misalnya dengan mengatakan, ”Bapak/Ibu percaya Bp punya kemampuan dan keinginan. Coba ceritakan pada Bapak/Ibu! Bp kan punya kemampuan...(kemampuan yang pernah dimiliki oleh anak).”
“Keempat, katakan, “Bagaimana kalau dicoba lagi sekarang?” Jika Bp mau mencoba, berikan pujian.”
“Pak, Bu, Bp perlu minum obat ini agar pikirannya jadi tenang, tidurnya juga tenang. Obatnya ada 3 macam, yang berwarna oranye namanya CPZ gunanya agar tenang, yang putih namanya THP gunanya supaya rileks, dan yang merah jambu ini namanya HLP gunanya agar pikiran tenang semuanya ini harus diminum secara teratur 3 kali sehari jam 7 pagi, jam 1 siang, dan jam 7 malam, jangan dihentikan sebelum berkonsultasi dengan dokter karena dapat menyebabkan Bp kambuh kembali.” (Libatkan keluarga saat memberikan penjelasan tentang obat kepada pasien).
“Bp sudah mempunyai jadwal minum obat. Jika Bp minta obat sesuai jamnya, segera beri pujian!”
Terminasi
“Bagaimana perasaan Bapak dan Ibu setelah kita bercakap-cakap tentang cara merawat Bp di rumah?”
“Setelah ini coba Bapak dan Ibu lakukan apa yang sudah saya jelaskan tadi setiap kali berkunjung kerumah sakit.”
“Baiklah bagaimana kalau dua hari lagi Bapak dan Ibu datang kembali kesini dan kita akan mencoba melakukan langsung cara merawat Bp sesuai dengan pembicaraan kita tadi.”
“Jam berapa Bapak dan Ibu bisa kemari? Baik saya tunggu, kita ketemu lagi di tempat ini ya Pak, Bu.”
SP 2 keluarga : Melatih keluarga cara merawat pasien
Orientasi
“Selamat pagi Pak, Bu, sesuai janji kita dua hari yang lalu kita sekarang bertemu lagi.”
“Bagaimana Pak, Bu, ada pertanyaan tentang cara merawat Bp yang kita bicarakan dua hari yang lalu?”
“Sekarang kita akan latihan cara-cara merawat tersebut ya Pak, Bu? Kita akan coba di sini dulu, setelah itu baru kita coba langsung ke Bp ya?”
“Berapa lama Bapak dan Ibu punya waktu?”
Kerja
“Sekarang anggap saya Bp yang sedang mengaku-ngaku sebagai nabi, coba Bapak dan Ibu praktikkan cara bicara yang benar jika Bp sedang dalam keadaan seperti ini.”
“Bagus, betul begitu caranya!”
“Sekarang coba praktikkan cara memberikan pujian pada kemampuan yang dimiliki Bp. Bagus!”
“Sekarang coba cara memotivasi Bp minum obat dan melakukan kegiatan positifnya sesuai jadwal?”
“Bagus sekali, ternyata Bapak dan Ibu sudah mengerti cara merawat Bp.”
“Bagaimana kalau sekarang kita mencobanya langsung kepada Bp?”
(Ulangi lagi semua cara di atas langsung pada pasien).
Terminasi
“Bagaimana perasaan Bapak dan Ibu setelah kita berlatih cara merawat Bp?”
“Setelah ini, coba Bapak dan Ibu lakukan apa yang sudah dilatih tadi setiap kali Bapak dan Ibu membesuk Bp.”
“Baiklah bagaimana kalau dua hari lagi Bapak dan Ibu datang kembali ke sini dan kita akan mencoba lagi cara merawat Bp sampai Bapak dan Ibulancar melakukannya.”
“Pukul berapa Bapak dan Ibu kemari?”
“Baik saya tunggu, kita ketemu lagi di tempat ini ya Pak, Bu.”
SP 3 keluarga : Membuat perencanaan pulang bersam keluarga.
Orientasi
“Selamat pagi Pak, Bu, karena Bp sudah boleh pulang maka kita bicarakan jadwal Bp selama di rumah.”
“Bagaimana Pak, Bu, selama Bapak dan Ibu besuk apakah sudah terus dilatih cara merawat Bp?”
“Nah sekarang bagaimana jika kita bicarakan jadwal di rumah? Mari Bapak dan Ibu duduk di sini!”
“Berapa lama Bapak dan Ibu punya waktu? Baik, 30 menit saja, sebelum Bapak/Ibu menyelesaikan administrasi di depan.”
Kerja
“Pak, Bu, ini jadwal Bp selama Bp di rumah sakit. Coba diperhatikan! Apakah kira-kira dapat dilaksanakan semua di rumah? Jangan lupa memperhatikan Bp, agar ia tetap menjalankan di rumah, dan jangan lupa memberi tanda M (mandiri), B (bantuan), atau T (tidak melaksanakan).”
“Hal-hal yang perlu dipehatikan lebih lanjut adalah perilaku yang di tampilkan oleh anak Ibu dan Bapak selama di rumah. Jika, misalnya Bp mengaku sebagai seorang nabi terus-menerus dan tidak memperlihatkan perbaikan, menolak minum obat, atau memperlihatkan perilaku membahayakan orang lain. Jika hal ini terjadi segera hubungi Suster E di Puskesmas Indra Putri, puskesmas terdekat dari rumah Ibu dan Bapak, ini nomor telepon puskesmasnya (0651) 321xxx.”
Selanjutnya, Suster E yang akan membantu memantau perkembangan Bp selama di rumah.”
Terminasi
“Apa yang ingin Bapak/Ibu tanyakan? Bagaimana perasaan Bapak/Ibu? Sudah siap melanjutkan di rumah?”
“Ini jadwal kegiatan hariannya. Ini rujukan untuk Suster E di PKM Indra Puri. Jika ada apa-apa Bapak/Ibu boleh juga menghubungi kami. Silakan menyelesaikan administrasi di kantor depan.”
D. Evaluasi keperawatan
1. Evaluasi Kemampuan Pasien Waham dan Keluarganya
Nama pasien : ...........
Ruangan : ...........
Nama perawat : ...........
Tuliskan tanggal setiap dilakukan supervisi.
No. | Kemampuan | Tanggal | ||||||||
| | | | | | | ||||
A | Pasien | |||||||||
1. | Berkomunikasi sesuai dengan kenyataan | | | | | | | | ||
2. | Menyebutkan cara memenuhi kebutuhan yang tidak terpenuhi | | | | | | | | ||
3. | Mempraktikkan cara memenuhi kebutuhan yang tidak terpenuhi | | | | | | | | ||
4. | Menyebutkan kemampuan positif yang dimiliki | | | | | | | | ||
5. | Mempraktikkan kemampuan positif yang dimiliki | | | | | | | | ||
6. | Menyebutkan jenis, jadwal, dan waktuminum obat | | | | | | | | ||
7. | Melakukan jadwal aktivitas dan minum obat sehari-hari | | | | | | | | ||
B | Keluarga | | | | | | | | ||
1. | Menyebutkan pengertian waham dan proses terjadinya wham | | | | | | | | ||
2. | Menyebutkan cara merawat pasien waham | | | | | | | | ||
3. | Mempraktikkan cara merawat pasien waham | | | | | | | | ||
4. | Membuat jadwal aktivitas dan minum obat pasien di rumah (perencanaan pulang) | | | | | | | | ||
2. Evaluasi Kemampuan Perawat Dalam Merawat Pasien Waham
Nama pasien : ...........
Ruangan : ...........
Nama perawat : ...........
No. | Kemampuan | Tanggal | ||||||
| | | | | | | ||
A | Pasien | | ||||||
| Sp 1 Pasien | | | | | | | |
1. | Membantu orientasi realita | | | | | | | |
2. | Mendiskusiakn kebutuhan yang tidak terpenuhi | | | | | | | |
3. | Membantu pasien memenuhi kebutuhannya | | | | | | | |
4. | Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian | | | | | | | |
| Nilai SP 1 pasien | | | | | | | |
| SP 2 Pasien | | | | | | | |
1. | Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien | | | | | | | |
2. | Berdiskusi tentang kemampan yang dimiliki | | | | | | | |
3. | Melatih kemampuan yng dimiliki | | | | | | | |
| Nilai Sp 2 pasien | | | | | | | |
| SP 3 Pasien | | | | | | | |
1. | Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien | | | | | | | |
2. | Memberikan pendidikan kesehtan tentang penggunaan obat secara tertur | | | | | | | |
3. | Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian | | | | | | | |
| Nilai Sp 3 pasien | | | | | | | |
B | Keluarga | |||||||
| SP 1 pasien | | | | | | | |
1. | Mendiskusikan masalah yang disarankan keluarga dalam merawat pasien | | | | | | | |
2. | Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala waham, dan jenis waham yang didalam pasien beserta proses terjadinya | | | | | | | |
3. | Menjelaskan cara-cara merawt pasien waham | | | | | | | |
| Nilai Sp 1 Keluarga | | | | | | | |
| SP 2 Keluarga | | | | | | | |
1. | Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien waham | | | | | | | |
2. | Melatih keluarga melakukan cara merawat lansung pada pasien waham | | | | | | | |
| Nilai Sp 2 Keluarga | | | | | | | |
| P 3 Keluarga | | | | | | | |
1. | Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat (perencanaan pulang) | | | | | | | |
2. | Menjelaskan tindak lanjut pasien setelah pulang | | | | | | | |
| Nilai Sp 3 Keluarga | | | | | | | |
| Total nilai: pasien + SP keluarga | | | | | | | |
| Rata-rata | | | | | | | |
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Waham adalah suatu keyakinan yang salah, tidak sesuai dengan fakta dan keyakinan tersebut kadang aneh. Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat. Semakin akut psikosis sering sering waham di temui. Waham yang akan muncul biasanya waham kendali pikir, kebesaran tersangkut, bizarre, hipokondri, cemburu, curiga, diancam, kejar, bersalah, berdosa, tak berguna dan kisnin. Klien yang terkena gangguan waham mengalami komunikasi dan putaran balik otak yang mengatur proses informasi secara abnormal. Pintu masuk dalam otak dapat mengakibatkan ketidakmampuan menanggapi stimulus dari otak. Langkah yang dapat kita ambil adalah harus bersikap adjektif, membina hubungan saling percaya dengan klien, menjadwalkan aktivitas klien, membina hubungan interpersonal.
Masalah keperawatan yang prioritas pada pasien dengan gangguan waham adalah gangguan proses pikir: waham, kerusakan komunikasi verbal, resiko mencederai orang lain, gangguan intrasosial: menarik diri, gangguan konsep diri: harga diri dan tidak efektifnya koping individu. Intervensi yang dapat diangkat adalah membina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip therapeutik, jangan membantah dan mendukung waham klien, yakinan klien berada dalam lingkungan aman dan terlindungi, membantu klien mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki, membantu klien mengidentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi, membantu klien dapat berhubungan dengan realita, kaloborasi dalam pemberian obat anti psikosis, dan membantu klien dapat menggunakan obat untuk mengendalikan wahamnya.
B. Saran
1. Perawat
Perawat harus memahami gangguan waham untuk dapat membantu pasien dalam menangani masalah gangguan waham agar perawat lebih bersikap empati terhadap klien dengan gangguan waham.perawat dapat melakukan pendekatan kepada klien serta mengajak klien beraktivitas agar klien tidak terus-terusan mengingat keyakinan dirinya.
2. Keluarga
Jika anggota keluarga hadir, klinisi dapat memutuskan untuk melibatkan mereka di dalam rencana pengobatan. Keluarga akan mendapatkan manfaat dengan membantu ahli terapi dan dengan demikian membantu pasien.keluarga sebaiknya memiliki waktu untuk berbicara dengan klien jangan mengucilkannya,jika klien dirawat dirumah keluarga sebaiknya merawat klien jangan membiarkan klien sendirian dan berikan obat yang sudah diberikan dokter.
3. Masyarakat
Sebaiknya masyarakat memahami dan dapat bersikap yang baik kepada klien yang berfikir macam-macam, kita dapat memberlakukanny sebaik-baiknya jangan menjauhinya.